(Mengurai Problemmatika Kehidupan dan Memecah Kebuntuan Pemikiran Dengan Metode Berfikir Ulama Tempo Doeloe)
I.
PENDAHULUAN
Ahlussunah
Waljamaah (Aswaja) merupakan bagian integral dari system PMII. Ahlussunah Waljamaah sering juga diangap sebagai idiologi aliran
dalam islam dan satu-satunya yang
mendapat rokemendasi dari Nabi masuk surga. Konsepsi tersebut acapkali
memunculkan polemik dan gesekan-gesekan pemikiran, bahkan takjarang ketika
gesekan pemikiran tak mampu memberi solusi yang berarti maka konfrontasi fisik
sering terjadi antara kelompok dalam islam. Hal itu berawal dari masing-masing
kelompok yang mengklaim dirinya adalah Ahlussunah Waljamaah dan mengklaim
tentang kebenaran yang telah mereka anut. Klaim ini tidak lepas dari pemahaman
mereka tentang Aswaja sebagai idiologi atau madzab, sehinga eksistensi Aswaja
semakin mengkristal bahkan menjadi institusi yang baku dan establish.
Kajian Aswaja
yang takterlepaskan dari keislaman merupakan upaya untuk mendudukan Aswaja
secara proporsional, bukanya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran
atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita angap baik, karena
rumusan dan konsep teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran sangat
dipengaruhi oleh problem yang memanas dimasanya.
II.
SEJARAH AHLUSSUNAH WALJAMA’AH (Aswaja)
Sejarah Aswaja
bermula dari perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat Nabi ketika beliau Nabi
wafat. Perselisihan itu terkait dengan persoalan siapa yang layak untuk
mengantikan beliau sebagai pemimpin umat islam. Sehinga munculah firqoh-firqoh
dikalangan umat islam.
Pertemuan Tsaqifah
yang diharapkan mampu memberikan solusi justru menjadi ajang pertarungan
politik dari berbagai aliran yang ada dimadinah. Dengan cara mengusung kandidat
mereka masing-masing. Kelompok yang terlibat dalam friksi politik itu
diantaranya adalah pertama: Kelompok Muhajirin (kelompok yang
hijrah bersama Nabi dari mekah kemadinah) berangapan bahwa merekalah yang
berhak memimpin umat islam karena mereka adalah orang yang masuk islam terlebih
dahulu. Kedua: Kelompok Anshar (orang-orang Madinah yang menerima
dan menolong Muhajirin dari tekanan politik dan ekonomi yang dilakukan kaum
kafir Qurais). Ketiga: Kelompok Syiah bani Hasyim atau
kelompoknya Ali bin Abi Thalib, kelompok ini berangapan bahwa Ali lah yang
berhak menjadi pemimpin karena secara keturunan masih saudara sepupu dan
merupakan menantu Nabi.
Hasil dari
pertemuan Tsaqifah ahirnya menetapkan Abu bakar sebagai Khalifah,
namun belum cukup mampu menghilangkan friksi yang ada. Perbedaan pendapat tadi
ternyata menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan yang puncaknya terjadi
pasca wafatnya Khalifah Utsman. Konfrontasi fisikpun tak dapat dihindari. Hal
ini dipicu oleh adanya friksi yang terjadi sejak sepeningalnya Nabi dan juga
dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman yang dinilai
nepotisme. Akibat dari permasalahan politik yang semakain kronis tersebut maka
pertumpahan darah diantara saudara sendiripun tak dapat dihindari. Dua perang
besarpun terjadi yaitu perang siffin antara kelompok Ali melawan kelompok
Muawiyah. Perang jamal kelompok Ali melawan kelompok Aisyah, Zubair dan
Thalhah. Akibat dari perang saudara itu kekalutan politik semakin parah, friksi
politik semakin banyak. Kelompok yang muncul adalah Khawarij dan Syiah
kelompok-kelompok yang lahir kemudian adalah Mu’tazilah, Murji’ah,Qodarriyah,
Musyhibah, Jahmiyah, Najariyah, Darrariyah, Kilabiyah dan Ahlussunah
Waljama’ah.
Dari penjelasan
diatas jelaslah bahwa yang melatarbelakanggi timbulnya aliran-aliran tersebut
adalah murni persoalan politik dalam perebutan kekuasaan. Hinga ahirnya
perbedaan tersebut semakin menjalar kesemua aspek keagamaan. Setiap kelompok
mempunyai pemikiran aliran sendiri baik dalam persoalan teologis dan hukum.
Perbedaan pemikiran tadi ada yang bersifat ekstrim missal kelompok Mu’tazilah
yang bercorak rasionalistik, Jabariyah yang cenderung fatalistic dan kelompok
lainya. Ditengah carutmarutnya perselisihan antar golongan yang menjurus pada
pertikaian politik dan pemahaman keagamaan, munculah seorang tokoh yang
memiliki pandangan keagamaan yang moderat, tidak ekstrim dan lebih banyak
bergerak kedalam wilayah grass root. Kelompok ini dipelopori oleh
Abu Hasan Ibn Abi Hasan al-Bashry (w. 728 M) inilah yang menjadi cikal bakal
Ahlussunah Waljamaah.
Pemikiran ini
kemudian berkembang pesat pada masa dinasti Abbsiyah (750-1258) pada masa ini
lahirlah pemikir-pemikir Suni yang monumental seperti Abi Hanifah (w 795 M),
Malik bin Annas (w 759 M) Asy-syafi’I (W 820 M) Ahmad bin Hambal (W 855 M). Abu
Hasan al-Asy’ari (W 935), Abu Manshur al-Maturidi (W 944 M) Imam junaid
al-Bagdadi (W 910 M), al-Baqillani (W 1013 M), al-Ghazali (W 1111 M). Pada masa
ini Suni tumbuh dan berkembang dengan golongan yang lainya yang takpelak
gesekan-gesekanpun terjadi, hal ini disikapi dengan mengambil langkah-langkah
penting, seperti mengembangkan dasar-dasar hokum islam. Hal ini dilakukan
dengan alasan bahwa diluar maindstream Suni ada kelompok lain yang
mengembangkan aliran pemikiran yang bercorak rasionalistik.
Kemudian
dilanjutkan dengan merumuskan konsep teoristik yang digali dari nilai-nilai
tradisi untuk mengantikan tradisi hidup yang informal. Tidak lain adalah untuk
membatasi penggunaan rasio yang berlebihan juga penggunaan hadits yang
benar-benar autentik. Pembatasan tersebut diiringi dengan upaya menginfestigasi
untuk menyelidiki hadits mana yang shahih, mana yang mursal. Karena itulah pada
masa ini lahir karya-karya besar yang spektakuler dalam fan hadis seperti
Shahih Bukhari oleh imam Bukhari (W 870 M), Shahih Muslim, Sunanu Majah, Sunanu
dawud dan lain-lain.
Sikap kelompok
Suni yang mencoba merumuskan tradisi secara teoristis untuk memelihara tradisi
dan terus berkembang. Begitu kuatnya hinga dalam perkembangan selanjutnya
terjadi pergeseran. Suni yang pada awalnya lebih diposisikan sebagai manhaj al
Fikr berubah menjadi Madzab. Karena itulah kelompok tersebut disibut sebagai
kelompok yang dalam memutuskan persoalan
fiqh lebih mengutamakan pada penggunaan metodologi dan keungulan epistimologi
tradisi dari pada penggunaan nalar.
III.
PENGERTIAN ASWAJA SEBAGAI MADZHAB
Pengertian
Ahlussunah Waljama’ah secara sistematik terbagi tiga kata yaitu: pertama Ahlun
atau Ahli berarti pemeluk atau pengikut kalau kita nisbatkan pada
madzhab maka bisa dikatak sebagai pengikut madzhab. Kedua Asunah
mempunyai arti jalan, disamping memiliki arti al- Hadits. Jika dirangkai
dengan kata Ahl maka bermakna pengikut jalan nabi, para sahabat, dan
tabi’in. Ketiga Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki
tujuan. Bila dirangkai dari ketiga suku kata tersebut maka menjadi: Segolongan
orang yang mengikuti Nabi, sahabat, dan tabi’in.
Nahdlatul Ulama
(NU) yang merupakan ormas terbesar yang ada di Indonesia dan merupakan ormas
yang pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja, tidak secara
terperinci menyebutkan arti Aswaja. Dalam Qonun asasi (konstitusi dasar) yang
dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim As’ari hanya merumuskan bahwa Aswaja
merupakan faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Al Maturidi. Dalam bidang fiqih menganut salah satu dari
madzhab empat (imam Hanafi, imam Malik, imam Syafi’I, dan imam Hanbal). Dan
dalam bidang tasawuf atau akhlak menganut Imam Junaidi al- Bagdadi, dan Abu
Hamid al- Ghozali. Beliau mendifinisakan Aswaja secara oprasional atau secara
prakteknya dengan pertimbangan atau alasan bahwa penganut aswaja khususnya di
Indonesia terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Bukan hanya orang Alim
saja melainkan orang Awam (umum) sehinga dalam pemaknaan Aswaja bersifat
oprasional dengan tujuan memudahkan dalam pelaksanaanya. Dalam konteks inilah
Aswaja disebut sebagai Madzhab atau Idiologi.
IV.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Aswaja sebagai
Manhaj al-Fikr Merupakan transformasi dari Madzhab dan dari kronologi sejarah
yang telah terpapar diatas dapat kita pahami proses peralihan Aswaja yang pada
awalnya sebagai Manhaj fikr berubah menjadi Madzab. Tetapi siring dengan
perkembangan zaman maka semakin komplek pula permasalahan yang dihadapi, hinga
produk-produk ulama masa dulu dinilai tidak seluruhnya mampu menjawab
pertanyaan, kebutuhan, dan tuntutan zaman. Oleh karena itu sangatlah perlu
untuk mendudukan Aswaia sebagai Manhaj al-fikr.
PMII memandang
bahwa Ahlussunah Waljamaah adalah orang- orang yang memiliki metode berfikir
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar
tawassuth, tasammuh, tawazzun, dan ta’adul. Pemikiran tersebut akan tampak
ketika kita meriview metode berfikir Ulama zaman dulu. Ada beberapa karakteristik pemikiran Ulama
zaman dulu yaitu;
1.
Tawassuth
(moderat)
Yakni
menjembatani antara dua titik ekstrim: Qodarriyah (freewillisme) dan Jabarriyah
(fatalisme), ortodoks salaf dan Nasionalisme versi Mu’tazilah, serta antara
sufisme falsafi dan sufisme salafi.
Aktualisasi dari
prinsip yang tawassuth adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal
pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal)
karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada bagaimana dia mengunakan
akalnya. Artinya ada keterkaitan antara wahyu dan akal sehinga tidak terjebak
pada faham skriptualisme (tekstual) dan rasionalisme. Dan dalam konteks
kekinian mekinya kita mampu mengkolaborasi berbagai macam metodologi dari
berbagai macam disiplin ilmu, baik agama, social humaniora, dan teknologi
sains.
2.
Tasammuh (toleran)
Dalam tasammuh
terdapat nilai-nilai yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan
merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana sikap kita dalam
berperilaku sehari-hari, khususnya dalam beragama dan bermasyarakat. Hinga
kesadaran akan pluralism atau keragaman yang saling melengkapi bukan membawa
pada perpecahan dalam beragama. Bentuk realisasi tasammuh adalah menghormati
keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain serta takmemaksa mereka untuk ikut
keyakinan dan kepercayaan kita dalam hidup bermasyarakat. Tasammuh terwujud
dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi
diatas kepentingan bersama. Dalam berbagai ranah tasammuh dihadirkan sebagai
usaha menjadikan perbedaaan agama, suku, ras, adat istiadat dan bahasa sebagai
elan dinamis bagi perubahan mayarakat, bangsa dan Negara kearah yang lebih
baik.
3.
Tawazzun
(keseimbangan)
Keseimbangan
disini adalah bentuk hubungan (baik antar individu, antar struktur social,
antara Negara dan rakyatnya maupun hubungan manusia dengan alam) yang tidak
berat sebelah artinya tidak ada pihak yang mersa dirugikan atau pihak yang dirasa
diuntungkan. Tapi dari masing-masing pihak mampu menempatkan posisinya sesuai
dengan fungsinya serta tidak mengangu fungsi yang lainya. Dan hasil yang
dicapai adalah terbentuknya keharmonisan dan kedinamisan hidup.
4.
Ta’adul
(keadilan)
Keadilan merupakan
ajaran universal dalam Aswaja, jadi setiap pemikiran, sikap, dan relasi, harus
diselaraskan dengan berlandaskan keadilan. Pemaknaan keadilan disini adalah
keadilan social, yaitu landasan kebenaran yang mengatur kehidupan politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.
Jadi keterkaitan
yang dapat kita tarik kesimpulan dari Manhaj al-fikr para ulama dan pemikir
salafussalihin adalah sebuah metode berfikir yang eklektik yakni mencoba
mencari titik temu dari perbedaan dengan seksama, jeli, teliti sampai mendapat
alternative. Dari ke-empat landasan ini harus berjalan beriringan dan tidak
boleh salah satu dari landasan ini tertingal.
V.
SEJARAH ASWAJA NUSANTARA
Ada keterkaitan
dan kesinambuungan antara dinamika social politik Aswaja dengan sejarah islam
di nusantara. Selang pendapat mengenai kapan masuknya islam ke nusantara memang
banyak kita temukan dalam lekteratur maupun kajian penelitian sejarah islam
nusantara, ada yang mengatakan pada abad ke-8 ke-11 dan ke-13, masing-masing
mempunyai argument yang sama-sama kuat berdasarkan tela’ah atau pengkajian
historis dan metode-metode penelitian yang lainya. Namun yang jelas yang
menjadi patokan mendasar kehadiran islam kenusantara taklepas dari dua hal: pertama:
kesultanan pasai di Aceh (abad 13). Kedua: kehadiran walisongo pada ahir
abad ke 15 bersamaan dengan runtuhnya kerajaan majapahit.
Dalam dekade
selanjutnya Walisongo memberi pengaruh dan berperan penting dalam penyebaran
islam dinusantara. Yang menjadi catatan oleh para sejarawan adalah
kecermelangan Walisongo dalam menkontekskan dan mengakulturisasikan islam dalam
kebudayaan masyarakat Indonesia. Sehinga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia.
Yang menjadi basis bagi golongan Nahdziyin. Dan dalam konteks keaswajaan telah
dirumuskankan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qonun asasi. Adapun rumusan
tersebut telah terpaparkan didepan.
VI.
IMPLIMENTASI DALAM KONTEKS GERAKAN
Aswaja sebagai
Manhaj al-fikr bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh
Nabi dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi
masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusian universal.
Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu. Pertama adalah
basis epistemologi, yaitu cara kerangka berfikir yang sesuai dengan kebenaran
al-Qura’n dan Sunah Nabi yang di implementasikan secara konsekwen dan penuh
komitmen oleh para pemikir dalam historisitas Aswaja. Kedua adalah basis
realitas, yaitu dealektika antara konsep dan realita yang terbuka untuk
dikontekstualkan dengan dinamika perubahan dan lokalitas serta keberpihakan
kepada kaum tertindas dan termarginalkan, serta masyrakat lapisan paling bawah.
Dua hal pokok
inilah yang menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat islam yang konsisten
dengan Aswajanya. Termasuk didalamnya
adalah PMII. Konsisten disini terwujud dalam bentuk gerakan yang selalu terbuka
dikritik dan dikonstruk ulang seiring dengan kemajuan zaman dan kebutuhan
lokalitas. PMII hadir tidak dengan klaim kebenaran tungal tetapi berdialektika
dengan realitas jauh dari sifat yang eksklusif dan fanatic. Maka keempat landasan
(Tawassuth, Tasammuh, Tawazzun Dan Ta’adul) yang menjadi prinsip dalam
Aswaja harus kita tafsirkan ulang dengan perkembangan konstruk social
masyarakat dan disesuaikan dengan era kekinian tentunya dengan pertimbangan
kebutuhan yang ada.
No comments:
Post a Comment