SELAMAT DATANG DI BLOG ABDUL HALIM SOLKAN

Semoga segala yang penulis atau blogger tampilkan dapat bermanfaat!

Wednesday 8 January 2014

RELEVANSI PRINSIP ASWAJA DALAM KONTEKS KEKINIAN


  (Mengurai Problemmatika Kehidupan dan Memecah Kebuntuan Pemikiran Dengan Metode  Berfikir Ulama Tempo Doeloe)

I.               PENDAHULUAN
Ahlussunah Waljamaah (Aswaja) merupakan bagian integral dari system PMII. Ahlussunah Waljamaah  sering juga diangap sebagai idiologi aliran dalam islam dan satu-satunya  yang mendapat rokemendasi dari Nabi masuk surga. Konsepsi tersebut acapkali memunculkan polemik dan gesekan-gesekan pemikiran, bahkan takjarang ketika gesekan pemikiran tak mampu memberi solusi yang berarti maka konfrontasi fisik sering terjadi antara kelompok dalam islam. Hal itu berawal dari masing-masing kelompok yang mengklaim dirinya adalah Ahlussunah Waljamaah dan mengklaim tentang kebenaran yang telah mereka anut. Klaim ini tidak lepas dari pemahaman mereka tentang Aswaja sebagai idiologi atau madzab, sehinga eksistensi Aswaja semakin mengkristal bahkan menjadi institusi yang baku dan establish.
Kajian Aswaja yang takterlepaskan dari keislaman merupakan upaya untuk mendudukan Aswaja secara proporsional, bukanya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita angap baik, karena rumusan dan konsep teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran sangat dipengaruhi oleh problem yang memanas dimasanya.

II.               SEJARAH AHLUSSUNAH WALJAMA’AH (Aswaja)
Sejarah Aswaja bermula dari perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat Nabi ketika beliau Nabi wafat. Perselisihan itu terkait dengan persoalan siapa yang layak untuk mengantikan beliau sebagai pemimpin umat islam. Sehinga munculah firqoh-firqoh dikalangan umat islam.
Pertemuan Tsaqifah yang diharapkan mampu memberikan solusi justru menjadi ajang pertarungan politik dari berbagai aliran yang ada dimadinah. Dengan cara mengusung kandidat mereka masing-masing. Kelompok yang terlibat dalam friksi politik itu diantaranya adalah pertama: Kelompok Muhajirin (kelompok yang hijrah bersama Nabi dari mekah kemadinah) berangapan bahwa merekalah yang berhak memimpin umat islam karena mereka adalah orang yang masuk islam terlebih dahulu. Kedua: Kelompok Anshar (orang-orang Madinah yang menerima dan menolong Muhajirin dari tekanan politik dan ekonomi yang dilakukan kaum kafir Qurais). Ketiga: Kelompok Syiah bani Hasyim atau kelompoknya Ali bin Abi Thalib, kelompok ini berangapan bahwa Ali lah yang berhak menjadi pemimpin karena secara keturunan masih saudara sepupu dan merupakan menantu Nabi.
Hasil dari pertemuan Tsaqifah ahirnya menetapkan Abu bakar sebagai Khalifah, namun belum cukup mampu menghilangkan friksi yang ada. Perbedaan pendapat tadi ternyata menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan yang puncaknya terjadi pasca wafatnya Khalifah Utsman. Konfrontasi fisikpun tak dapat dihindari. Hal ini dipicu oleh adanya friksi yang terjadi sejak sepeningalnya Nabi dan juga dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman yang dinilai nepotisme. Akibat dari permasalahan politik yang semakain kronis tersebut maka pertumpahan darah diantara saudara sendiripun tak dapat dihindari. Dua perang besarpun terjadi yaitu perang siffin antara kelompok Ali melawan kelompok Muawiyah. Perang jamal kelompok Ali melawan kelompok Aisyah, Zubair dan Thalhah. Akibat dari perang saudara itu kekalutan politik semakin parah, friksi politik semakin banyak. Kelompok yang muncul adalah Khawarij dan Syiah kelompok-kelompok yang lahir kemudian adalah Mu’tazilah, Murji’ah,Qodarriyah, Musyhibah, Jahmiyah, Najariyah, Darrariyah, Kilabiyah dan Ahlussunah Waljama’ah.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa yang melatarbelakanggi timbulnya aliran-aliran tersebut adalah murni persoalan politik dalam perebutan kekuasaan. Hinga ahirnya perbedaan tersebut semakin menjalar kesemua aspek keagamaan. Setiap kelompok mempunyai pemikiran aliran sendiri baik dalam persoalan teologis dan hukum. Perbedaan pemikiran tadi ada yang bersifat ekstrim missal kelompok Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik, Jabariyah yang cenderung fatalistic dan kelompok lainya. Ditengah carutmarutnya perselisihan antar golongan yang menjurus pada pertikaian politik dan pemahaman keagamaan, munculah seorang tokoh yang memiliki pandangan keagamaan yang moderat, tidak ekstrim dan lebih banyak bergerak kedalam wilayah grass root. Kelompok ini dipelopori oleh Abu Hasan Ibn Abi Hasan al-Bashry (w. 728 M) inilah yang menjadi cikal bakal Ahlussunah Waljamaah.
Pemikiran ini kemudian berkembang pesat pada masa dinasti Abbsiyah (750-1258) pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir Suni yang monumental seperti Abi Hanifah (w 795 M), Malik bin Annas (w 759 M) Asy-syafi’I (W 820 M) Ahmad bin Hambal (W 855 M). Abu Hasan al-Asy’ari (W 935), Abu Manshur al-Maturidi (W 944 M) Imam junaid al-Bagdadi (W 910 M), al-Baqillani (W 1013 M), al-Ghazali (W 1111 M). Pada masa ini Suni tumbuh dan berkembang dengan golongan yang lainya yang takpelak gesekan-gesekanpun terjadi, hal ini disikapi dengan mengambil langkah-langkah penting, seperti mengembangkan dasar-dasar hokum islam. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa diluar maindstream Suni ada kelompok lain yang mengembangkan aliran pemikiran yang bercorak rasionalistik.
Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan konsep teoristik yang digali dari nilai-nilai tradisi untuk mengantikan tradisi hidup yang informal. Tidak lain adalah untuk membatasi penggunaan rasio yang berlebihan juga penggunaan hadits yang benar-benar autentik. Pembatasan tersebut diiringi dengan upaya menginfestigasi untuk menyelidiki hadits mana yang shahih, mana yang mursal. Karena itulah pada masa ini lahir karya-karya besar yang spektakuler dalam fan hadis seperti Shahih Bukhari oleh imam Bukhari (W 870 M), Shahih Muslim, Sunanu Majah, Sunanu dawud dan lain-lain.
Sikap kelompok Suni yang mencoba merumuskan tradisi secara teoristis untuk memelihara tradisi dan terus berkembang. Begitu kuatnya hinga dalam perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran. Suni yang pada awalnya lebih diposisikan sebagai manhaj al Fikr berubah menjadi Madzab. Karena itulah kelompok tersebut disibut sebagai kelompok  yang dalam memutuskan persoalan fiqh lebih mengutamakan pada penggunaan metodologi dan keungulan epistimologi tradisi dari pada penggunaan nalar. 

III.               PENGERTIAN ASWAJA SEBAGAI MADZHAB
Pengertian Ahlussunah Waljama’ah secara sistematik terbagi tiga kata yaitu: pertama Ahlun atau Ahli berarti pemeluk atau pengikut kalau kita nisbatkan pada madzhab maka bisa dikatak sebagai pengikut madzhab. Kedua Asunah mempunyai arti jalan, disamping memiliki arti al- Hadits. Jika dirangkai dengan kata Ahl maka bermakna pengikut jalan nabi, para sahabat, dan tabi’in. Ketiga Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dirangkai dari ketiga suku kata tersebut maka menjadi: Segolongan orang yang mengikuti Nabi, sahabat, dan tabi’in.
Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan ormas terbesar yang ada di Indonesia dan merupakan ormas yang pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja, tidak secara terperinci menyebutkan arti Aswaja. Dalam Qonun asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim As’ari hanya merumuskan bahwa Aswaja merupakan faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al Maturidi. Dalam bidang fiqih menganut salah satu dari madzhab empat (imam Hanafi, imam Malik, imam Syafi’I, dan imam Hanbal). Dan dalam bidang tasawuf atau akhlak menganut Imam Junaidi al- Bagdadi, dan Abu Hamid al- Ghozali. Beliau mendifinisakan Aswaja secara oprasional atau secara prakteknya dengan pertimbangan atau alasan bahwa penganut aswaja khususnya di Indonesia terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Bukan hanya orang Alim saja melainkan orang Awam (umum) sehinga dalam pemaknaan Aswaja bersifat oprasional dengan tujuan memudahkan dalam pelaksanaanya. Dalam konteks inilah Aswaja disebut sebagai Madzhab atau Idiologi.

IV.               ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr Merupakan transformasi dari Madzhab dan dari kronologi sejarah yang telah terpapar diatas dapat kita pahami proses peralihan Aswaja yang pada awalnya sebagai Manhaj fikr berubah menjadi Madzab. Tetapi siring dengan perkembangan zaman maka semakin komplek pula permasalahan yang dihadapi, hinga produk-produk ulama masa dulu dinilai tidak seluruhnya mampu menjawab pertanyaan, kebutuhan, dan tuntutan zaman. Oleh karena itu sangatlah perlu untuk mendudukan Aswaia sebagai Manhaj al-fikr.
PMII memandang bahwa Ahlussunah Waljamaah adalah orang- orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar tawassuth, tasammuh, tawazzun, dan ta’adul. Pemikiran tersebut akan tampak ketika kita meriview metode berfikir Ulama zaman dulu.  Ada beberapa karakteristik pemikiran Ulama zaman dulu yaitu;
1.      Tawassuth (moderat)
Yakni menjembatani antara dua titik ekstrim: Qodarriyah (freewillisme) dan Jabarriyah (fatalisme), ortodoks salaf dan Nasionalisme versi Mu’tazilah, serta antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.
Aktualisasi dari prinsip yang tawassuth adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada bagaimana dia mengunakan akalnya. Artinya ada keterkaitan antara wahyu dan akal sehinga tidak terjebak pada faham skriptualisme (tekstual) dan rasionalisme. Dan dalam konteks kekinian mekinya kita mampu mengkolaborasi berbagai macam metodologi dari berbagai macam disiplin ilmu, baik agama, social humaniora, dan teknologi sains.
2.      Tasammuh (toleran)
Dalam tasammuh terdapat nilai-nilai yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana sikap kita dalam berperilaku sehari-hari, khususnya dalam beragama dan bermasyarakat. Hinga kesadaran akan pluralism atau keragaman yang saling melengkapi bukan membawa pada perpecahan dalam beragama. Bentuk realisasi tasammuh adalah menghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain serta takmemaksa mereka untuk ikut keyakinan dan kepercayaan kita dalam hidup bermasyarakat. Tasammuh terwujud dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama. Dalam berbagai ranah tasammuh dihadirkan sebagai usaha menjadikan perbedaaan agama, suku, ras, adat istiadat dan bahasa sebagai elan dinamis bagi perubahan mayarakat, bangsa dan Negara kearah yang lebih baik.
3.      Tawazzun (keseimbangan)
Keseimbangan disini adalah bentuk hubungan (baik antar individu, antar struktur social, antara Negara dan rakyatnya maupun hubungan manusia dengan alam) yang tidak berat sebelah artinya tidak ada pihak yang mersa dirugikan atau pihak yang dirasa diuntungkan. Tapi dari masing-masing pihak mampu menempatkan posisinya sesuai dengan fungsinya serta tidak mengangu fungsi yang lainya. Dan hasil yang dicapai adalah terbentuknya keharmonisan dan kedinamisan hidup.
4.      Ta’adul (keadilan)
Keadilan merupakan ajaran universal dalam Aswaja, jadi setiap pemikiran, sikap, dan relasi, harus diselaraskan dengan berlandaskan keadilan. Pemaknaan keadilan disini adalah keadilan social, yaitu landasan kebenaran yang mengatur kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.

Jadi keterkaitan yang dapat kita tarik kesimpulan dari Manhaj al-fikr para ulama dan pemikir salafussalihin adalah sebuah metode berfikir yang eklektik yakni mencoba mencari titik temu dari perbedaan dengan seksama, jeli, teliti sampai mendapat alternative. Dari ke-empat landasan ini harus berjalan beriringan dan tidak boleh salah satu dari landasan ini tertingal.

V.               SEJARAH ASWAJA NUSANTARA
Ada keterkaitan dan kesinambuungan antara dinamika social politik Aswaja dengan sejarah islam di nusantara. Selang pendapat mengenai kapan masuknya islam ke nusantara memang banyak kita temukan dalam lekteratur maupun kajian penelitian sejarah islam nusantara, ada yang mengatakan pada abad ke-8 ke-11 dan ke-13, masing-masing mempunyai argument yang sama-sama kuat berdasarkan tela’ah atau pengkajian historis dan metode-metode penelitian yang lainya. Namun yang jelas yang menjadi patokan mendasar kehadiran islam kenusantara taklepas dari dua hal: pertama: kesultanan pasai di Aceh (abad 13). Kedua: kehadiran walisongo pada ahir abad ke 15 bersamaan dengan runtuhnya kerajaan majapahit.
Dalam dekade selanjutnya Walisongo memberi pengaruh dan berperan penting dalam penyebaran islam dinusantara. Yang menjadi catatan oleh para sejarawan adalah kecermelangan Walisongo dalam menkontekskan dan mengakulturisasikan islam dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Sehinga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia. Yang menjadi basis bagi golongan Nahdziyin. Dan dalam konteks keaswajaan telah dirumuskankan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qonun asasi. Adapun rumusan tersebut telah terpaparkan didepan.

VI.               IMPLIMENTASI DALAM KONTEKS GERAKAN
Aswaja sebagai Manhaj al-fikr bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusian universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan itu. Pertama adalah basis epistemologi, yaitu cara kerangka berfikir yang sesuai dengan kebenaran al-Qura’n dan Sunah Nabi yang di implementasikan secara konsekwen dan penuh komitmen oleh para pemikir dalam historisitas Aswaja. Kedua adalah basis realitas, yaitu dealektika antara konsep dan realita yang terbuka untuk dikontekstualkan dengan dinamika perubahan dan lokalitas serta keberpihakan kepada kaum tertindas dan termarginalkan, serta masyrakat lapisan paling bawah.
Dua hal pokok inilah yang menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat islam yang konsisten dengan Aswajanya.  Termasuk didalamnya adalah PMII. Konsisten disini terwujud dalam bentuk gerakan yang selalu terbuka dikritik dan dikonstruk ulang seiring dengan kemajuan zaman dan kebutuhan lokalitas. PMII hadir tidak dengan klaim kebenaran tungal tetapi berdialektika dengan realitas jauh dari sifat yang eksklusif dan fanatic. Maka keempat landasan (Tawassuth, Tasammuh, Tawazzun Dan Ta’adul) yang menjadi prinsip dalam Aswaja harus kita tafsirkan ulang dengan perkembangan konstruk social masyarakat dan disesuaikan dengan era kekinian tentunya dengan pertimbangan kebutuhan yang ada.

No comments:

Post a Comment