SELAMAT DATANG DI BLOG ABDUL HALIM SOLKAN

Semoga segala yang penulis atau blogger tampilkan dapat bermanfaat!

Monday 13 January 2014

ALQUR’AN (SUDUT PANDANG DARI SEJARAH DAN PERKEMBANGANNNYA)




I.         PENDAHULUAN
Umat Islam mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah puncak penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an menurut para ulama adalah salah satu dari pengertian berikut : Pertama: Kodifikasi dari arti hifzuhu (menghafalkan dalam hati), Jumma’ul Qur’an artinya Haffazuhu (penghafal-penghafalannya, orang yang menghafalkannya dalam hati). Inilah makna yang dimaksud dalam firman Allah kepada Nabi-nabi untuk senantiasa mengerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an.
Kemurnian kitab suci Al-Qur’an dijamin langsung oleh Allah yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Qur’an itu sendiri yang termaktub di dalam  firman-Nya yaitu Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Dan kenyataannya kita bias melihat Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
II.      RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan diatas, maka dari penulis merumuskan bebrapa masalah yang nantinya akan dibahas dalam makalah ini, terkait sejarah dan perkembangan Alqur’an. Rumusan masalah tersebut antara lain:
A.     Bagaimana Kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman ?
B.     Apa perbedaan antara mushhaf al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman?
C.     Apa yang mendorong khalifah untuk menghimpun dan membukukan al-Qur’an?
D.     Bagaimana perkembangan penulisan al-Qur’an?
III.   PEMBAHASAN
A.    Kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman
1.      Kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi
Al-Qur’an dikumpulkan pada dua masa,yaitu masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin. Masing-masing tahap Kodifikasi ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Kata “Kodifikasi”, kadang diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Kadang pula diartikan penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan keduanya ini berlaku pada tahap Kodifikasi di zaman nabi sekaligus, yaitu :
1.      Kodifikasi dalam dada, dengan cara menghafal dan mengekspresikannya.
2.      Kodifikasi dalam tulisan, dengan cara menulis dan mengukirnya.
Kedua sistem Kodifikasi tersebut sangat sempurna penjagaan dan perhatian terhadap al-Qur’an al-Karim, baik penulisan dan pembukuan sebagai kitab Allah yang suci dan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang abadi, yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Berikut ini akan kami jelaskan tahap Kodifikasi Al-Qur’an diatas.
a.       Kodifikasi Al-Qur’an dalam dada
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummi. Otomatis, maka himmah Nabi hanya tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat dihafal sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal dan membacakannya. Telah maklum bahwa beliau adalah Nabi yang buta huruf yang diutus oleh Allah kepada bangsa Arab yang juga buta huruf. Allah berfirman dalam surat Al-Jumu’ah:2 :
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ  
Artinya : ”Dia yang mengutus kepada umat yang ummi (Arab) seorang rasul diantara mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka.” (QS.Al-Jumu’ah:2)
Sudah barang tentu, biasanya seorang yang buta huruf berpegang kepada orang yang hafal dan mengingatnya. Karena dia tidak bisa membaca atau menulis, maka bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an bangga dengan sifat kekhususannya, yaitu memiliki daya ingat yang kuat serta cepat menghafal,bahkan hatinya begitu terbuka.
b.      Kodifikasi Al-Qur’an pada tulisan
Keistimewaan kedua untuk Al-Qur’an ini adalah Kodifikasi dan penulisannya pada lembaran-lembaran. Rasulullah Saw mempunyai beberapa penulis wahyu. Manakala turun ayat, segera beliau perintahkan mereka untuk menulisnya, untuk lebih berhati-hati dalam pembukuan pengukuhan serta pemeliharaan terhadap kitab Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa penulisan itu cocok dengan apa yang telah ditanamkan Allah ke dada mereka. Para penulis adalah orang-orang pilihan diantara sahabat. Rasulullah memilih mereka yang telah terbukti ketaqwaanya demi usaha yang demikian penting dan agung.
Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khulafaur Rasyidin, dan yang lain dari golongan sahabat. Setelah wahyu turun lantas Nabi menyuruh mereka menuliskannya. Nabi sendiri yang menunjukkannya kepada mereka untuk menempatkan surat-surat itu ditempatnya. Tulisan itu jelas dalam bentuk huruf dan dikumpulkan berdasarkan hafalan.
Sebagaimana diketahui, mula-mula ada diantara sahabat itu menuliskan Al-Qur’an hanya untuk dirinya sendiri. Nabi menyuruh supaya ditulis dengan rapi dan dikumpulkan sehingga merupakan sebuah kitab. Mereka itu menulisannya ada yang diatas pelepah kurma, diatas batu, pelepah tamar, papan, potongan-potongan kulit, diatas kayu yang diletakkan diatas punggung keledai dan diatas tulang-tulang. Kata Zaid bin Tsabit, kami dimasa Rasulullah menuliskan Al-Qur’an itu diatas kulit atau diatas daun. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya tugas yang dipikul oleh sahabat Nabi dalam menuliskan Al-Qur’anulkarim. Karena pada waktu itu orang tidak mudah mendapatkan alat-alat tulis menulis, kecuali dengan cara beginilah tulisan itu melimpah pada hafalan.
2.      Perbedaan antara mushhaf al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman
Setelah Abu Bakar menduduki kursi khalifah, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka Abu Bakar menghadapkan perhatiannya pada peristiwa-peristiwa besar pada masa itu yaitu murtadnya sebagian orang Arab. Maka dia menyediakan pasukan-pasukan untuk menghadapi orang-orang murtad ini. Peperangan yang dilakukan terhadap penduduk Yaman terjadi pada tahun ke 12 hijriah. Disini berkumpul sejumlah besar sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Dalam peperangan ini syahid 70 orang sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Melihat hal yang demikian ini maka Umar bin Khattab merasa khawatir. Dia datang kepada Abu Bakar membicarakan agar supaya Al-Qur’an ini dikumpulkan dan ditulis, dikhawatirkan akan sia-sia. Karena banyaknya ahli qira’at yang terbunuh dalam pertempuran di Yamamah tersebut, maka hal ini dikhawatirkan. \
Setelah itu Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit dalam masalah qira’at, menuliskannya, memahami, dan memikirkannya. Al-Qur’an yang ditulis pada pelepah-pelepah tamar, pada batu-batu dan tulang-tulang itu disalinnya kembali. Dan mushafnya diserahkan kepada Abu Bakar. Oleh Abu Bakar mushaf ini disimpannya, dan setelah dia meninggal, maka mushaf ini dipindahkan kepada khalifah Umar. Disinilah disimpan mushaf itu sampai Umar meninggal.(Quthan:143).
Terdapat pula mushaf-mushaf pribadi dikalangan beberapa orang sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubaiya, mushaf Ibnu Mas’ud. Mushaf ke empat orang ini tidak seperti mushaf yang dikemukakan ini. Tidak dapat menyamainya, baik dari segi susunan, maupun dari segi lainnya. Disinilah letak keistimewaan mushaf Abu Bakar. Menurut pendapat sebagian ulama, Al-Qur’an itu juga dinamakan mushaf. Timbulnya yaitu sejak Abu Bakar mengumpulkan mushaf itu. Kata Ali, orang yang paling besar jasanya dalam mengumpulkan mushaf ialah Abu Bakar RA. Allah telah memberi rahmat kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama kali mengumpulkan mushaf. Kumpulannya ini dinamakan kumpulan kedua.(Quthan:145)
Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq:
1.         Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.         Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3.         Ijma’ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-qur’an.
4.         Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut menimbulkan kekaguman dihati para sahabat terhadap usaha Abu Bakar dalam memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan. Dan hal tersebut berkat taufiq serta hidayah dari Allah SWT.(Ash-Shabuuniy:105)
3.      Kodifikasi Al-Qur’an di masa Utsman bin Affan
Semakin meluasnya penaklukan-penaklukan islam. Ahli-ahli qira’at terpencar-pencar di daerah-daerah kerajaan islam. Ahli-ahli ilmu pengetahuan tiap-tiap daerah kerajaan mengambil qira’at ini dari utusan-utusan yang dikirim ke daerah-daerah mereka. Mereka hidup menurut kelompok atau daerah tempat tinggal mereka. Sebagian dari bentuk perbedaan ini menakjubkan. Semua kelompok ini bersandarkan kepada Rasulullah. Namun hal ini tidak akan merubah penulisan kitab yang menimbulkan keragu-raguan yang belum terpikir oleh Rasulullah SAW. Berbicara tentang perbedaan itu berjalan terus sampai kepada yang lebih bagus. Kebagusan ini selalu ditingkatkan, malah sudah sampai melampaui batas dan perbuatan dosa.(Quthan:146)
Di waktu terjadi pertempuran sengit di Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak. Dalam kedua pertempuran ini Huzaifah bin Al-Yamani memperhatikan banyak terdapat banyak perbedaan pendapat dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada yang salah bacaannya. Di samping itu tiap-tiap orang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki bacaan dan wakaf-wakafnya. Karena adanya perbedaan itu, maka timbul kekhawatiran dikalangan para sahabat. Hal ini dengan secara berangsur-angsur akan terjadi perubahan dan pertukaran letak. Karena itu khalifah mengumpulkan orang dan memerintahkan kepada mereka untuk menyalin mushaf pertama yang berada pada Abu Bakar kemudian mushaf itu diserahkan kepada Utsman.
Kemudian Utsman mengutus Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Sa’id ibnu Ash dan Abdurrahman bin Al-Harist untuk menyalin mushaf-mushaf. Dan salinan itu oleh Utsman dikirim keseluruh penjuru kerajaan islam pada waktu itu. Disini Utsman memerintahkan tiap-tiap mushaf yang berbeda dari Al-Qur’an supaya dibakar.(Quthan:146).
B.     Perbedaan antara mushaf Abu Bakar dan mushaf Utsman
Perbedaan antara Kodifikasi (mushaf) Abu Bakar dan Usman adalah sebagai berikut.Kodifikasi mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf dan ayat-ayatnya sudah tersusun,berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang.Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur.Sedangkan Kodifikasi musahf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar,dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam.Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an.(Ash-Shaabuuniy :110)
1.      Terminologi Rasm al-Mushhaf
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Dalam ilmu al-Qur’an, yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an/al-Mushhaf tatacara penulisan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Rasm al-Mushhaf dilakukan oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdrrahman bin Harits. Panitia empat yang dibebani tugas penulisan beberapa naskah al-Qur’an tersebut, menempuh cara khusus yang direstui oleh khalifah, baik dalam hal penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk huruf yang digunakannya. Banyak ulama yang mengaitkan tulisan tersebut dengan khalifah yang memberi tugas sehingga menyebutnya sebagai Rasm Utsmani (Shalih, 361).
Pola penulisan rasm utsmani memiliki perbadaan dengan kaidah atau standar penulisan bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Rasm Utsmani juga berbeda dengan cara penulisan aruzh (ilmu untuk menimbang syair). Pola rasm utsmani inilah yang kemudian dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushhaf al-Qur’an.
2.      Para Penulis Ayat al-Qur’an
Oleh karena Nabi Muhammad saw itu seorang “ummi”, tidak bisa pandai membaca dan menulis, maka sewaktu-waktu beliau pandai membaca tulisan dan menulis, maka sewaktu-waktu beliau menerima wahyu al-Qur’an da telah dibacakan oleh malaikat Jibril, lalu beliau menghafalkannya demgam sempurna. Kemudian beliau menyuruh para sahabat yang telah ditetapkan atau diangkat menjadi penulis beliau untuk menulis wahyu-wahyu itu.
Menurut riwayat, paa penulis beliau waktu itu ada 26 orang, bahkan ada pula yang meriwayatkan 42 orang. Adapun nama-nama mereka yang 26 adalah: 1. Abu Bakar as-Shiddiq, 2. Umar bin al Khattab, 3. Utsman bin Affan, 4. Ali bin Abi Thalib, 5. Zubair bin Awwam, 6. Amir bin Fuhairah, 7. Abdullah bin Arqam, 8. Amr bin ‘Ash, 9. Ubayya bin Ka’ab, 10. Mughirah bin Syu’bah, 11. Handlalah bin ar Rabi’, 12. Abdullah bin Ruwahah, 13. Khalid bin Walid, 14. Khalid bin Sa’id, 15. Al ‘Alla bin Hadhrami, 16. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, 17. Yazid bin Abi Sufyan, 18. Muhannad bin Maslamah, 19. Abdullah bin Abdullah bin Ubayya, 20. Mu’aiqib bin Abi Fthimah, 21. Hudzaifah bin Yaman, 22. Abdullah bin Abi Sarah, 23. Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, 24. Hashien bin Namier, 25. Tsabit bin Qais, dan 26. Zaid bin Tsabit.
Para penulis al-Qur’an yang telah ditetapkan oleh Nabi saw itu, mereka menulisi ayat-ayat al-Qur’an tidaklah dijadikan satu, tidak disatu tempat. Sebagian menulisnya di pelapah-pelapah korma, sebagian di atas batu-batu putih yang tipis, sebagian disobekan-sobekan kain dan lain sebagainya. Oleh masing-masing penulis al-Qur’an, ditulisnya ayat-ayat itu dua buah, yang satu disampaikan kepada Nabi dan yang satu disimpan untuk dirinya sendiri. Dan sebagian banysk dari mereka itu setelah menulisnya lalu menghafalkannya sampai lancar di luar kepala.
C.    Latar Belakang Khalifah untuk menghimpun dan membukukan al-Qur’an
Diriwayatkan bahwa dikala Abu Bakar as-Shiddiq menjabat khalifah, dengan sekonyong-konyong ada suatu peristiwa yang seakan-akan mendorong kepada beliau, agar ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an yang masih berserak-serak itu dihimpun dan dikumpulkan menjadi sebuah buku. Peristiwa itu ialah terjadinyua peperangan di Yamamah, peperangan antara kaum Muslimin yang tulen dan yang palsu (murtad). Dalam peperangan ini banyak dari para sahaba yang meninggal dunia. Diriwayatkan ada 70 orang yang wafat.
Sehubungan dengan ini, Umar bin Khattab berfikir dan berpendapat bahwa : jika hal demikian terjadi terus menerus, para sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang tewas (syahid), mungkin nantinya menyebabkan fitnah yang besar bagi kaum Muslimin. Maka seketika itu datanglah beliau kepada khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dengan mengemukakan usul bahwa hendaknya ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an segera dihimpun, dikumpulkan menjadi satu. Usul sebaik itu disetujui oleh khalifah Abu Bakar dan para sahabat besar yang lain pada waktu itu.
Persetujuan bulat dari mereka itu ditambah pula dengan pembicaraan siapa-siapa yang akan diserahi tugas yang maha berat ini. Akhirnya mereka serentak memutuskan Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis al-Qur’an yang kenamaan. Kemudian dipanggillah Zaid bin Tsabit dan Khalifah berkata kepadanya : “Hai Zaid, engkau seorang pemuda yang berakal serta cerdas. Kami tidak akan menaruh dugaan yang baik kepadamu. Dari dahulu engkaulah seorang penulis wahyu yang senantiasa menuliskan wahyu untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu kini hendaklah tulisan-tulisan itu engkau kutip semuanya dan himpunlah menjadi satu !”. Kata Zaid bin Tsabit : “ Sesungguhnya demi Allah, jika sekiranya mereka menyuruhku supaya aku memindahkan satu gunung itu lebih ringan bagiku daripada menghimpunkan al-Qur’an yang disuruhkan mereka itu atas diriku”. Selanjutnya ia berkata : “Bagaimana aku diperintah mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw?”. Kata Abu Bakar : “ Demi Allah itu pekerjaan yang baik dan utama”.
Demikianlah selanjutnya hingga Abu Bakar berulang kali memerintahkan Zaid supaya mengerjakan pekerjaan yang baik dan utama itu, sehingga terbukalah hati Zaid untuk mengerjakan perintah menghimpun dan mengumpulkan al-Qur’an dari catatan-catatan yang ada di pelapah-pelapah korma, dari batu-batu dan dari dada-dada pada orang yang yang hafal al-Qur’an. Kemudian setelah selesai al-Qur’an dihimpun menjadi satu naskah, lalu diserahkan kepada Abu Bakar, dan oleh beliau lalu disimpan baik-baik sampai datang hari wafatnya. 
Kemudian sepeninggal Abu Bakar, naskah al-Qur’an itu berpindah ke tangan Umar bin Khattab selaku khalifah ke II, dan sepeninggal beliau ini, lalu disimpan oleh salah seorang putrinya, ialah Siti Hafshah bekas istri Nabi saw.  Demikianlah singkatnya riwayat al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah, dan itulah permulaan al-Qur’an dihimpun menjadi sebuah buku. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke XI dari hijriah.
D.    Perkembangan Penulisan al-Qur’an
Penyempurnaan penulisan al-Qur’an terus berlangsung setelah penulisan pada masa khalifah Utsman. Mushhaf Utsmani tidak dilengkapi dengan tanda-tanda baca seperti mushhaf yang dikenal sekarang ini. Belum ada tanda berupa titik untuk membedakan antara huruf yang mirip. Sebab, para sahabat yang juga mengandalkan hafalan tidak menemui kesulitan dalam membaca mushhaf pada masa itu. Kesulitan baru dialami setelah dunia Islam meluas dan banyak orang non Arab masuk Islam.
Ketika Ziyad bin Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyyah bin Sufyan (661-680 M) –riwayat lain menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib –ia memerintahkan kepada Abu al-Aswad al- Duwaliuntuk membuat tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an. Pada awalnya ia menolak, namun setelah ia mendengar sendiri kesalahan bacaan yang fatal, ia bersedia dan bahkan menawarkan sendiri untuk meletakkan tanda-tanda bacaan tersebut. Al-Duwali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf , tanda baris bawah (kasrah) berupa sebuah titik di bawah baris, tanda dhammah berupa waw kecil diantara dua huruf, dan konsonan mati tanpa menggunakan tanda apa-apa.
Pada perkembangan selanjutnya, khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) memerintahkan Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Yahya bin Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali. Kedua oaring inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang memiliki kemiripan, misalnya penambahan titik diatas huruf dal sehingga menjadi huruf dzal. Penambahan titik yang bervariasi pada huruf dasar (ب) sehingga menjadi ba’, ta’, dan tsa’, huruf dasar (ح) menjadi jim, ha’, kha’. Ra’ dibedakan dengan zay, sin dibedakan dengan syin, shad dibedakan dengan zhat, tha’ dibedakan dengan dla’, ‘ain dibedakan dengan ghain, dan fa’ dibedakan dengan qaf.
Dalam perkembangan berikutnya, pemberian tanda nomor ayat, kode sepuluh ayat, tanda awal surat, keterangan Makkiyah dan Madaniyah, serta pengelompokan menjadi 30 juz, dilakukan sebagai jawaban terhadap kebutuhan Umat Islam. Sekalipun pada awalnya dianggap sebagai bid’ah dhalalah –terutama bagi yang berpendapat bahwa penulisan al-Qur’an bersifat tawqifi, penambahan ini akhirnya diterima sebagai sesuatu yang mubah.
IV.   SIMPULAN
Al-Qur’an diturunkan selama dua tahun lebih , proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Tulisan-tulisan Al-qur’an pada maa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Susunan penulisan Al-Qur’an pun tidak menurut susunan nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun ditulis di tempat penulisan yang sesuai dengan petunjuk Nabi. Nabi tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena ia senantisa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya.
Pada masa Nabi Al-Qur’an masih berserakan pada kulit, tulang dan pelepah kurma, dengan demikian, abu bakar memerintahkan agar dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan ,surat-suratyang tersusun serta ditulis dengan sangat berhati-hati dan mencangkup tujuh huruf yang dengan itu Al-Qu’an diturunkan. Setelah itu Usman juga mengumpulkan Al-Qur’an ,dengan cara menyalin dalam satu huruf diantara tujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin.
Kodifikasi al-Qur’an pada masa Abu Bakar merupakan bentuk pemindahan dari pelepah-pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan kulit-kulit binatang yang ditulis menjadi satu mushaf dengan ayat-ayat yang sudah tersusun. Dikumpulkannya al-Qur’an pada masa ini karena banyak para huffadz yang gugur dalam peperangan.
Sedangkan pada masa Utsman merupakan bentuk penyalinan dari mushaf yang telah ada pada masa Abu Bakar dan dikirim ke Negara-negara Islam. Disalinnya karena banyak perbedaan dalam membaca al-Qur’an. Penyempurnaan al-Qur’an terus berlangsung setelah penulisan al-Qur’an pada masa Utsman diantaranya penambahan-penambahan harakat (fathah, kasrah, dhammah) oleh al Duwali serta pembubuhan titik pada huruf al-Qur’an yang memiliki kemiripan bentuk oleh Yahya bin Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali.
V.      PENUTUP






DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shaabuuniy, 1998, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung : CV PUSTAKA SETIA
Baidan, Nashruddin: 2003, Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai.
Baltaji, Muhammad: 2005, Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc), Jakarta: Khalifa.
Departemen Agama: 1971, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Bumi Restu.
Dkk, Saifullah. 2004. “Ulumul Qur’an”. Ponorogo: Prodial Pratama Sejati (PPS) Press Jalan Betoro Katong
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus: 1989 M, Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Penerbit Pustaka.
Ichwan, Muhammad Nor: 2001, Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya.
Moenawar Kholil, K.H. 1994. “al-Qur’an Dari Masa ke Masa”. Solo: Ramadlani
Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, Syaikh,. “Ushûl Fi at-Tafsîr,
Qardawi, Yusuf: 2003, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Quthan Mana’ul, 1996, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Bandung : PT RINEKA CITRA
Shihab, Muhammad Quraish: 1993, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan



No comments:

Post a Comment