Oleh : Abdul Halim[2]
Berdasarkan pengamatan
penulis merujuk berbagai sumber, materi wajib dalam Pelatihan Kader Lanjut PMII
adalah sebagi berikut :
1. Ke-Islaman
(Ideologi)
a. Aswaja
Scientific
b. PMII,
NU dan Peta Pemikiran Gerakan Islam
2. Keindonesiaan
a. Sejarah
Masyarakat Indonesia
b. Geo
Politik, Geo Ekonomi dan Geo Strategi
3. Ke-PMII-an
a. Membedah
PMII Perspektif Ideologi
b. Membedah
PMII Perspektif Kepemimpinan dan Organisasi
c. Membedah
PMII Perspektir Kaderisasi
d. Membedah
PMII Perspektif Gender
4. Leadership
a. Mentality
And Character Building
b. Teknik
Membangun Jaringan
c. Strategi
Perang
5. Pengetahuan
a. Strategi
Membangun Kemandirian Ekonomi Organisasi
b. Community
Organizing
Berikut
sedikit penulis uraikan gambaran mengenai materi-materi PKL yang menjadi asupan
wajib peserta.
Aswaja
Scientific
Tujuan
diberikannya materi ini adalah dalam rangka membentuk pribadi Muslim Indonesia
yang selalu menjungjung tinggi Nilai-nilai Aswaja secara autentik (Eksaminasi Aswaja),
selanjutnya peserta mampu dan dapat memposisikan aswaja sebagai pijakan serta landasan
dakwah dan gerak kader. Aswaja dalam pandangan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) menempati ruang sebagai manhaj atau metode dalam berpikir,
tidak lagi sebagai ideologi. Artinya, aswaja menjadi bagian dalam kehidupan
sehari-hari kader PMII untuk mengaplikasikan berbagai disiplin ilmu yang
dimiliki oleh warga pergerakan ini.
Dibeberapa
kajian aswaja yang sering disampaikan dalam pelatihan-pelatihan dan ruang
diskusi, sudah banyak disampaikan bagaimana peran aswaja dalam menempati tempat
yang sangat praktis, yakni dalam pengamalan sebagai manusia yang toleran
(tasamuh), seimbang (tawazzun), moderat (tawassuth), dan adil (i’tidal). Ke
empat konsepsi aswaja tersebut sudah teraplikasikan dalam realitas sosial, baik
dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Akan tetapi, hari ini PMII perlu
membedah lebih luas lagi dalam diri Aswaja yang masih sangat luas jika
posisinya sebagai metodologi berfikir (manhaj al fikr). Hal ini dikarenakan
perkembangan kehidupan sosial disekitar kita sangatlah pesat kemajuannya,
termasuk semuanya menjadi serba modern.
Jika
melihat basic culture dari kader PMII yang mempunyai ciri khas berasal dari
pesantren, ekonomi kelas menengah kebawah, tradisional, maka nilai-nilai aswaja
pun seakan tersendat atau terhambat dengan batasan karakteristik diatas.
Berangkat dari sini, maka perlu adanya pengamalan aswaja yang bisa
diaplikasikan dari berbagai disiplin keilmuan yang dimiliki kader PMII dan
nilai-nilai Aswaja bisa tersampaikan melalui bidang sosial, hukum, budaya,
bahasa, ekonomi, dan sains.
Pergeseran
warga dan basis sosial Kader PMII ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika
pemikiran keagamaan didalam tubuh PMII sendiri dengan corak yang beragam. Pada
umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu
kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli
(materi/tekstual) dan kubu yang mencoba mengembangkan pemahaman secara manhaji
(metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran
alternatif.
Dengan
mendasarkan pada semangat inti ajaran ASWAJA tawassuth, tawazun dan tasamuh,
maka strategi perjuangan/dakwah PMII menuju ‘izzul islam wal muslimin lebih
pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga
bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya
local sebagai instrumen dakwahnya dengan melakukan tranformasi social menuju
‘izzul Islam wal muslimin’.
Proses
dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya
sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan
system budaya local. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai
instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa
religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat
akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
PMII,
NU dan Peta Pemikiran Gerakan Islam
Sebagai
Peserta Pelatihan Kader Lanjut, kita harus mampu melihat peta pemikiran dan
gerakan islam di tingkat nasional dan internasional, peserta mengetahui dan
paham posisi PMII – NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta mampu
memposisikan diri sebagai kader pelopor. Geliat gerakan Islam di Indonesia
mulai terasa sejak awal abad 20, ketika kaum Wahabi di Saudi Arabia mengadakan
gerakan anti bid’ah, hingga melahirkan gerakan Komite Hijaz dari kalangan
pesantren Indonesia. Sebelumnya gerakan pembaharuan telah terorganisir bersama
lahirnya Muhammadiyah (1912) yang dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani.
Saat
ini varian-varian gerakan Islam telah berkembang sangat pesat dan beragam.
Sebagai misal pengaruh Hasan al-Banna di Messir yang mendirikan Ikhwanul
Muslimin (1928) dan Hizbut Tahrir yang didirikan di Palestina tahun 1952 terasa
sangat besar di Indonesia 10 tahun terakhir. Masing-masing memiliki agenda dan
corak pemikiran tersendiri. Di sayap lain juga berkembang pemikiran Islam
liberal yang salah satunya digawangi oleh JIL. Sementara PMII menegaskan diri
sebagai bagian dari generasi Islam Indonesia, yang menyadari titik beda
historis dan sosio kultural Islam Indonesia dari negeri-negeri asal baik
pemikiran liberal maupun fundamentalis.
Ada
pokok bahasan yang kiranya harus kita kaji bersama dalam konteks PMII, NU dan
Peta Pemikiran Gerakan Islam, yaitu :
1.
Pemikiran dan gerakan islam di Indonesia
dalam sejarah, sekarang dan masa depan.
2.
Relasi pemikiran dan gerakan islam di
indonesia dengan pemikiran dan gerakan Islam secara internasional.
3.
Sejarah dan dinamika PMII – NU dilihat
dari perspektif sebagai organisasi kemahasiswaan, sosialkeagamaan dan kultur
politik.
4.
Posisi gerakan PMII diantara gerakan Islam.
Sejarah
Masyarakat Indonesia
Sejarah
masyarakat Indonesia perlu didekati dari beberapa sudut sekaligus agar kita
memahami bagaimana negeri ini secara komperehensif.
1. Melihat
posisi politik dan ekonomi Nusantara/Indonesia di tengah perkembangan politik
dan ekonomi dunia. Pada masa Nusantara (pra-kolonial) kerajaan-kerajaan di
Nusantara relatif mampu menjadi ‘penguasa’ di kawasan Asia Tenggara, meski
kalah pamor dari negeri Tiongkok. Peran ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan
Nusantara mulai tersingkir begitu Portugis menguasai Malaka dan Spanyol
menguasai Maluku.
2. Melihat
sejarah agama dan kebudayaan di Nusantara. Pada masa Nusantara kita telah
memiliki Hindu-Budha serta kepercayaan asli Nusantara. Begitu Islam mulai
tersebar, ketiganya tersingkir. Namun massifnya pemeluk Islam bukan berarti
hilangnya ciri khas watak Hindu-Budha dalam sosio-budaya Nusantara. Demikian
pula kedatangan Kristen, tidak menghilangkan watak tersebut. Masyarakat
Indonesia menyimpan lapis-lapis memori bawah sadar yang berperanpenting dalam
bangunan mental dan watak sosialnya.
3. Melihat
efek kolonialisme terhadap bangunan sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Menjadi bangsa terjajah selama 350 tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama
itu perubahan mental masyarakat sangat mungkin terjadi. Kita dapat membacanya sejak
pasca 1945, saat upaya membangun kemandirian bangsa oleh Soekarno selalu dapat
digagalkan oleh hasrat untuk mengikuti apa yang diminta oleh pihak asing.
Demikian sampai saat ini, masyarakat Indonesia tampaknya lebih mudah terpikat
oleh sesuatu yang berasal dari luar. Dari tiga sudut di atas sebuah kenyataan
historis akan terbaca. Dan selanjutnya PMII dengan lega hati harus jujur bahwa
beginilah historisitas medan gerak PMII.
Selain
itu ada pokok bahasan yang harus didalami kaitannya menyoal sejarah masayarakat
Indonesia, yaitu : (1) Warisan nusantarakerajaan dalam nalar, watak dan pola
prilaku masyarakat Indonesia (2) Warisan kolonialisme dan nalar, watak, dan pola
prilaku masyarakat Indonesia (3) Hubungan warisan nusantara dan kolonialisme
dalam membentuk Watak, nalar dan prilaku masyarakat local (4) Pola gerakan –
gerakan sosial di Indonesia (5) Pengaruh kolonialisme dan masa perang dingin
dalam pembentukan dikotomik nalar gerakan sosial di Indonesia (6) Ruang
strategis PMII dalam sejarah dan gerakan Masyarakat Indonesia.
Geopolitik,
Geoekonomi dan Geostrategi
Kita
harus mampu menangkap nilai strategis letak
geografis indonesia dalam bidang politik dan ekonomi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, serta
memiliki pegangan untuk membaca peristiwa –peristiwa politik dan ekonomi
internasional serta nasional yang menuntut penyikapan secara organisasi di
PMII, Semoga kita mampu mulai mengatur dan mengasah diri sebagai kader
pergerakan dalam kenyataan geopolitik, geoekonomi dan geostrategis di berbagai level.
Di
mata dunia internasional, khususnya blok kapitalis-liberal, Indonesia pernah
menempati posisi geopolitik penting sepanjang Perang Dingin. Indonesia ketika
itu penting sebagai bumper bagi blok tersebut untuk menahan ekspansi
sosialis-komunis. Posisi geografi Indonesia, yang terletak di persimpangan samudera
dan benua, menaikkan nilai politik Indonesia di kawasan Asia Tenggara.
Pasca
runtuhnya Komunisme Sovyet, Perang Dingin berakhir sehingga praktis peta dunia
didominasi oleh blok kapitalis-liberal. Dalam arena tunggal semacam itu,
pertarungan besar bukan lagi terjadi dalam ranah politik-ideologi, melainkan
politik-ekonomi. Perebutan kandungan alam strategis (minyak, emas, air, uranium
dll) yang memiliki nilai ekonomi tinggi menjadi peristiwa besar di samping
permainan moneter.
Perebutan
kandungan alam serta permainan moneter biasa membawa implikasi politik, atau
malah bersenjata politik. Sebagai misal ulah Amerika di Irak dan Afghanistan,
serta isu terrorisme yang juga mengenai Indonesia. Indonesia belum mampu
bangkit dari posisinya yang lemah meskipun secara geografis posisi Indonesia
demikian strategis baik secara politik maupun ekonomi. Visi geoekonomi belum
tampak dalam kebijakan pemimpin kita, hingga kita kalah sangat jauh dari
Singapura yang mampu memanfaatkan posisi geografisnya sebagai negara
persinggahan bisnis dunia di kawasan Asia Tenggara.
Selain
itu ada bahasan yang menjadi titik penting yang harus mampu kita cerna, agar
kita tidak gagap menyoal wacana ini. Yaitu : 1. Tahap-tahap perkembangan sistem
dunia (world system). 2. Pengertian, geopolitik & ekonomi. 3. Posisi
Indonesia secara geopolitik & ekonomi selama perang dingin dan era
neoliberal. 4. Misi gerakan dalam kenyataan geopolitik dan geoekonomi kontemporer.
5. Melacak strategi penguasaan ekonomi dan politik di dunia. 6.
Kualitas-kualitas kader pelopor yang dibutuhkan dalam kenyataan geopolitik dan
geoekonomi.
Membedah
PMII Perspektif Kaderisasi
Kita
sering mendapati diri ada di tengah belantara pertanyaan, gugatan,
ketidakpuasan sekaligus kebingungan mengenai kaderisasi. Semuanya campur aduk
tak tertata, antara pertanyaan mendasar dengan pertanyaan teknis. Pertanyaan
Apa tujuan kaderisasi kita? Untuk apa kaderisasi kita? terlontar bersamaan
dengan pertanyaan: bagaimana metodenya? Apa isi materinya? Apa sajakah
buku-buku referensinya? Bagaimana distribusi kader nanti? Siapa instruktur dan
pematerinya?
Semua
itu pertanyaan faktual, artinya relevan untuk diajukan. Soalnya adalah bahwa
menata pertanyaan sesuai dengan proporsinya masing-masing, jarang terjadi. Lalu
mengurutkan, memahami kembali dan mengakumulasikan jawaban-jawaban sebagaimana
telah diberikan dari Kongres ke Kongres, juga jarang dilakukan.
Ketika
kita (PMII) berada di tengah situasi otoritarianisme Orde Baru, PMII
sepuas-puasnya mereguk khazanah intelektual dan mengambil inspirasi gerakan
serta kosakata Marxian. Ternyata pilihan tersebut ampuh sebagai jalan
mengetahui bahwa orang-orang PMII beserta organisasinya, adalah bagian dari
masyarakat pinggiran bangsa ini yang secara sistematis memang dipelihara untuk
tetap di pinggir. Lebih dari itu, pilihan tersebut juga ampuh untuk
membangkitkan radikalisme kita, sehingga PMII berani mengisi garis depan
perjuangan melawan negara sampai akhir dekade 1990.
Saat
itu, tujuan PMII dan tujuan kaderisasi seolah-olah telah terumuskan dalam
bentuk final, konkrit dan mewujud secara material: membela rakyat tertindas. Di
tengah situasi zaman itu, struktur permukaan dari kenyataan yang dihadapi
mahasiswa memang mudah menciptakan situasi psikologis yang sarat dengan heroisme.
Sementara
zaman berubah dengan cepat, kampanye demokrasi dan slogan reformasi melahirkan
desentralisasi; ruang kompetisipun terbuka sangat lebar. Gerakan
ekstraparlementer tidak lagi menjadi domain utama gerakan mahasiswa. Kita
bertemu dengan organisasi ‘kanan’ yang secara ‘tiba-tiba’ mendominasi ruang
opini gerakan mahasiswa. Bersamaan dengan itu kita menemukan bahwa ‘rival’ lama
kita ternyata masih tetap bertahan dan masih eksis. Pada saat itu, kita merasa
kehilangan sifat ‘kanan’ kita: kita kurang Islami, kurang menghargai simbol dan
seterusnya.
Situasi
tersebut persis terjadi saat inspirasi gerakan dan kosakata Marxian belum
disadari sepenuhnya sebagai sumber energi-eksternal pada masanya, yakni situasi
nasional dekade 1990. Dengan kalimat lain, kita masih cenderung ‘kiri’ dalam
kosakata dan sedikit ‘kiri’ dalam pikiran, namun kita ingin ‘kanan’ juga.
Ambang antara ‘kiri’ dan ‘kanan’ inilah yang harus kita atasi.
Maka
kita harus mengingat kembali tujuan dasar kaderisasi PMII, atau untuk apakah
kaderisasi PMII dilakukan? Melihat kembali dan merekonstruksi tujuan ini
penting, mengingat telah demikian banyak input intelektual dan pengalaman
gerakan yang dipunyai PMII. Begitu banyaknya sehingga tujuan kaderisasi kita
sering tak terbaca dan teringat, tergantikan dengan ‘bahasa-bahasa’ lain. Intensitas pergaulan dan kompetisi kita
dengan organisasi ‘kiri’ dan organisasi ‘kanan’ kerap menimbulkan sikap ‘kecil
hati’ di satu sisi dan terlalu ‘merasa besar diri’ di sisi yang lain. Bahkan
kadang-kadang muncul sikap reaksioner.
Pandangan
umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan menjadi dua ikon
secara umum.Pertama, pelaku kaderisasi (subyek).Dan kedua,sasaran kaderisasi
(obyek).Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi adalah
individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi
dan kebijakan- kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan
tugas-tugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi,
dengan pengertian lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih
untuk meneruskan visi dan misi organisasi.
Fungsi
dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) yang siap melanjutkan
tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi.Kader suatu organisasi adalah
orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan
disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan yang di atas rata-rata orang
umum. Bung Hatta pernah menyatakan kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, “Bahwa
kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin
bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.”
Pengkaderan
di PMII bukan semata-mata hendak menjadikan orang terdidik secara intelektual,
berwawasan, dan terampil secara teknis,melainkan juga membekali (tepatnya:
mengingatkan) individu atas tugas-tugas kekhalifahan yang harus diemban manusia
sebagai hamba tuhan (‘abdullah). Selain itu pengkaderan juga bermaksud
membangun keberpihakan individu terhadap masyarakat besar darimana dia berasal.
Sehingga pengetahuan dan keterampilan individual apapun yang didapat oleh
kader, baik dari PMII maupun dari luar PMII, setelah mengikuti pengkaderan PMII
seorang kader diharapkan akan mengabdikan pengetahuan dan keterampilan tersebut
bagi kolektivitas. Bukan diabdikan bagi kebesaran dan kejayaan individual.
Wujud
dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki
kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi. Indikator termudah yang
seringkali dijadikan ukuran keberhasilan dari sebuah organisasi adalah seberapa
banyak (kuantitas) dan seberapa hebat (kualitas), integritas dan kapabilitas
out put (alumni) yang dihasilkannya.Minimnya sebuah organisasi dalam
me-reproduksi intelektual, tokoh atau pemimpin yang memiliki kecakapan di
bidangnya (profesional), kritis, visioner dan berkarakter akan menunjukkan
macetnya sebuah organisasi yang berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh
organisasi.
Sistem
pengkaderan di PMII diarahkan pada terciptanya individu-individu yang merdeka,
otonom, independen, baik dalam bepikir, bersikap maupun berperilaku serta
memiliki kapasitas dan kepedulian berpartisipasi secara kritis dalam setiap
aksi perubahan menuju tatanan masyarakat, negara dan dunia yang PMII
cita-citakan.
Mentality
and Character Building
Mental
digunakan untuk menyebut kapasitas psikologis orang dalam merespond
problem-problem kehidupan. Ada orang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi
problem seberat apapun dan seberapa lamapun. Nah orang seperti ini disebut kuat
mentalnya. Adapun jika seseorang memiliki kapasitas psikologis dibawah normal
sehingga ketika berhadapan dengan problem ia merasa minder, menyerah sebelum
bertarung,maka ia disebut sebagai orang yang lemah mentalnya. Jika sangat parah
disebut memiliki keterbelakangan mental. Jika dihubungkan dengan kemampuannya
menyelaraskan diri dengan nilai-nilai, maka yang positif disebut orang yang
sehat mentalnya sementara orang banyak melakukan perilaku menyimpang disebut
sebagai orang yang sakit mental.
Daya-daya
mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan
memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin
terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun
dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental,
yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara
berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan
motivasi).
Salah
satu contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan
yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala
budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu
agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya
hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan.hal ini
yang kadang menyebabkan keraguan atau bahkan ketakutan untuk bertindak,
sehingga terjebak di dalam kelemahan. Kemudian berkaitan dengan transformasi
etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas dimana cara berpikir, cara
merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan
sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi,
politik, sains-teknologi, seni, agama,organisasi dsb.sehingga mentalitas bangsa
(yang terungkap dalam praktik/kebiasaan sehari-hari) lambat-laun berubah.
Pengorganisasian, rumusan pengembangan diarahkan untuk proses transformasi etos
dalam membentuk karakter dan mental yang kuat.
Keberhasilan
suatu bangsa dalam mencapai tujuannya, tidak hanya ditentukan oleh dimilikinya
sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi sangat ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusianya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa "Bangsa
yang besar yang dapat dilihat dari kualitas/karakter bangsa (manusia) itu
sendiri". Dilihat dari segi manajemen suatu organisasi, maka unsur manusia
merupakan unsur yanng paling utama dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya
seperti; uang, metode kerja, mesin, perlengkapan dan pasar, dapat dikataka demikian
karena tidak dapat dipungkiri bahwa adanya dayaguna, manfaat, dan peran
unsur-unsur tersebut, hanya dimungkinkan apabila unsur "manusia"
mempunyai , memiliki daya/kekuatan untuk memberdayakan berbagai unsur dimaksud
sehingga masing-masing unsur dapat memberi hasil, manfaat, dayaguna dan peran
dalam manajemen tersebut.
Karakter
sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti merupakan
hal yang sangat penting dalam kehidupan berorganisasi, baik organisai pemerintahan
maupun organisasi swadaya/usaha dan lain sebagainya terlebih bagi kita yang
berproses di PMII. Dapat dikatakan bahwa karakter manusia Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kunci yang sangat
penting untuk mewujudkan cita-cita perjuangan guna terwjudnya masyarakat adil
dan makmur berlandaskan Pancasila. Dikatakan penting karena karakter mempunyai
makna atau nilai yang sangat mendasar untuk mempengaruhi segenap pikiran,
tindakan dan perbuatan setiap insan manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
[1] Ditulis
sebagai salah satu syarat menjadi peserta Pelatihan Kader Lanjut (PKL) Oleh
Pegurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang.
[2] Kader
dari Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN
Walisongo Semarang, Pernah menjadi Koord. Pengkaderan PR PMII Fak Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang (Sekarang Rayon Abdurrahman Wahid FITK UIN Walisongo
Semarang), kemudian juga anggota staff Dept Pengkaderan di PK PMII UIN
Walisongo Semarang
No comments:
Post a Comment