SELAMAT DATANG DI BLOG ABDUL HALIM SOLKAN

Semoga segala yang penulis atau blogger tampilkan dapat bermanfaat!

Wednesday 27 January 2016

Resume Materi Wajib Pelatihan Kader Lanjut PC PMII Kota Semarang

Oleh : Abdul Halim[2]

Berdasarkan pengamatan penulis merujuk berbagai sumber, materi wajib dalam Pelatihan Kader Lanjut PMII adalah sebagi berikut :
1.    Ke-Islaman (Ideologi)
a.       Aswaja Scientific
b.      PMII, NU dan Peta Pemikiran Gerakan Islam
2.      Keindonesiaan
a.       Sejarah Masyarakat Indonesia
b.      Geo Politik, Geo Ekonomi dan Geo Strategi
3.      Ke-PMII-an
a.       Membedah PMII Perspektif Ideologi
b.      Membedah PMII Perspektif Kepemimpinan dan Organisasi
c.       Membedah PMII Perspektir Kaderisasi
d.      Membedah PMII Perspektif Gender
4.      Leadership
a.       Mentality And Character Building
b.      Teknik Membangun Jaringan
c.       Strategi Perang
5.      Pengetahuan
a.       Strategi Membangun Kemandirian Ekonomi Organisasi
b.      Community Organizing
Berikut sedikit penulis uraikan gambaran mengenai materi-materi PKL yang menjadi asupan wajib peserta.
Aswaja Scientific
Tujuan diberikannya materi ini adalah dalam rangka membentuk pribadi Muslim Indonesia yang selalu menjungjung tinggi Nilai-nilai Aswaja secara autentik (Eksaminasi Aswaja), selanjutnya peserta mampu dan dapat memposisikan aswaja sebagai pijakan serta landasan dakwah dan gerak kader. Aswaja dalam pandangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menempati ruang sebagai manhaj atau metode dalam berpikir, tidak lagi sebagai ideologi. Artinya, aswaja menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari kader PMII untuk mengaplikasikan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki oleh warga pergerakan ini.
Dibeberapa kajian aswaja yang sering disampaikan dalam pelatihan-pelatihan dan ruang diskusi, sudah banyak disampaikan bagaimana peran aswaja dalam menempati tempat yang sangat praktis, yakni dalam pengamalan sebagai manusia yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazzun), moderat (tawassuth), dan adil (i’tidal). Ke empat konsepsi aswaja tersebut sudah teraplikasikan dalam realitas sosial, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Akan tetapi, hari ini PMII perlu membedah lebih luas lagi dalam diri Aswaja yang masih sangat luas jika posisinya sebagai metodologi berfikir (manhaj al fikr). Hal ini dikarenakan perkembangan kehidupan sosial disekitar kita sangatlah pesat kemajuannya, termasuk semuanya menjadi serba modern.
Jika melihat basic culture dari kader PMII yang mempunyai ciri khas berasal dari pesantren, ekonomi kelas menengah kebawah, tradisional, maka nilai-nilai aswaja pun seakan tersendat atau terhambat dengan batasan karakteristik diatas. Berangkat dari sini, maka perlu adanya pengamalan aswaja yang bisa diaplikasikan dari berbagai disiplin keilmuan yang dimiliki kader PMII dan nilai-nilai Aswaja bisa tersampaikan melalui bidang sosial, hukum, budaya, bahasa, ekonomi, dan sains.
Pergeseran warga dan basis sosial Kader PMII ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan didalam tubuh PMII sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba mengembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif.
Dengan mendasarkan pada semangat inti ajaran ASWAJA tawassuth, tawazun dan tasamuh, maka strategi perjuangan/dakwah PMII menuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya dengan melakukan tranformasi social menuju ‘izzul Islam wal muslimin’.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan system budaya local. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.

PMII, NU dan Peta Pemikiran Gerakan Islam
Sebagai Peserta Pelatihan Kader Lanjut, kita harus mampu melihat peta pemikiran dan gerakan islam di tingkat nasional dan internasional, peserta mengetahui dan paham posisi PMII – NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta mampu memposisikan diri sebagai kader pelopor. Geliat gerakan Islam di Indonesia mulai terasa sejak awal abad 20, ketika kaum Wahabi di Saudi Arabia mengadakan gerakan anti bid’ah, hingga melahirkan gerakan Komite Hijaz dari kalangan pesantren Indonesia. Sebelumnya gerakan pembaharuan telah terorganisir bersama lahirnya Muhammadiyah (1912) yang dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Saat ini varian-varian gerakan Islam telah berkembang sangat pesat dan beragam. Sebagai misal pengaruh Hasan al-Banna di Messir yang mendirikan Ikhwanul Muslimin (1928) dan Hizbut Tahrir yang didirikan di Palestina tahun 1952 terasa sangat besar di Indonesia 10 tahun terakhir. Masing-masing memiliki agenda dan corak pemikiran tersendiri. Di sayap lain juga berkembang pemikiran Islam liberal yang salah satunya digawangi oleh JIL. Sementara PMII menegaskan diri sebagai bagian dari generasi Islam Indonesia, yang menyadari titik beda historis dan sosio kultural Islam Indonesia dari negeri-negeri asal baik pemikiran liberal maupun fundamentalis.
Ada pokok bahasan yang kiranya harus kita kaji bersama dalam konteks PMII, NU dan Peta Pemikiran Gerakan Islam, yaitu :
1.      Pemikiran dan gerakan islam di Indonesia dalam sejarah, sekarang dan masa depan.
2.      Relasi pemikiran dan gerakan islam di indonesia dengan pemikiran dan gerakan Islam secara internasional.
3.      Sejarah dan dinamika PMII – NU dilihat dari perspektif sebagai organisasi kemahasiswaan, sosialkeagamaan dan kultur politik.
4.      Posisi gerakan PMII diantara gerakan Islam.

Sejarah Masyarakat Indonesia
Sejarah masyarakat Indonesia perlu didekati dari beberapa sudut sekaligus agar kita memahami bagaimana negeri ini secara komperehensif.
    1.     Melihat posisi politik dan ekonomi Nusantara/Indonesia di tengah perkembangan politik dan ekonomi dunia. Pada masa Nusantara (pra-kolonial) kerajaan-kerajaan di Nusantara relatif mampu menjadi ‘penguasa’ di kawasan Asia Tenggara, meski kalah pamor dari negeri Tiongkok. Peran ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan Nusantara mulai tersingkir begitu Portugis menguasai Malaka dan Spanyol menguasai Maluku.
    2.     Melihat sejarah agama dan kebudayaan di Nusantara. Pada masa Nusantara kita telah memiliki Hindu-Budha serta kepercayaan asli Nusantara. Begitu Islam mulai tersebar, ketiganya tersingkir. Namun massifnya pemeluk Islam bukan berarti hilangnya ciri khas watak Hindu-Budha dalam sosio-budaya Nusantara. Demikian pula kedatangan Kristen, tidak menghilangkan watak tersebut. Masyarakat Indonesia menyimpan lapis-lapis memori bawah sadar yang berperanpenting dalam bangunan mental dan watak sosialnya.
    3.     Melihat efek kolonialisme terhadap bangunan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Menjadi bangsa terjajah selama 350 tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itu perubahan mental masyarakat sangat mungkin terjadi. Kita dapat membacanya sejak pasca 1945, saat upaya membangun kemandirian bangsa oleh Soekarno selalu dapat digagalkan oleh hasrat untuk mengikuti apa yang diminta oleh pihak asing. Demikian sampai saat ini, masyarakat Indonesia tampaknya lebih mudah terpikat oleh sesuatu yang berasal dari luar. Dari tiga sudut di atas sebuah kenyataan historis akan terbaca. Dan selanjutnya PMII dengan lega hati harus jujur bahwa beginilah historisitas medan gerak PMII.
Selain itu ada pokok bahasan yang harus didalami kaitannya menyoal sejarah masayarakat Indonesia, yaitu : (1) Warisan nusantarakerajaan dalam nalar, watak dan pola prilaku masyarakat Indonesia (2) Warisan kolonialisme dan nalar, watak, dan pola prilaku masyarakat Indonesia (3) Hubungan warisan nusantara dan kolonialisme dalam membentuk Watak, nalar dan prilaku masyarakat local (4) Pola gerakan – gerakan sosial di Indonesia (5) Pengaruh kolonialisme dan masa perang dingin dalam pembentukan dikotomik nalar gerakan sosial di Indonesia (6) Ruang strategis PMII dalam sejarah dan gerakan Masyarakat Indonesia.

Geopolitik, Geoekonomi dan Geostrategi
Kita harus mampu menangkap nilai strategis letak geografis indonesia dalam bidang politik dan ekonomi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, serta memiliki pegangan untuk membaca peristiwa –peristiwa politik dan ekonomi internasional serta nasional yang menuntut penyikapan secara organisasi di PMII, Semoga kita mampu mulai mengatur dan mengasah diri sebagai kader pergerakan dalam kenyataan geopolitik, geoekonomi dan geostrategis di berbagai level.
Di mata dunia internasional, khususnya blok kapitalis-liberal, Indonesia pernah menempati posisi geopolitik penting sepanjang Perang Dingin. Indonesia ketika itu penting sebagai bumper bagi blok tersebut untuk menahan ekspansi sosialis-komunis. Posisi geografi Indonesia, yang terletak di persimpangan samudera dan benua, menaikkan nilai politik Indonesia di kawasan Asia Tenggara.
Pasca runtuhnya Komunisme Sovyet, Perang Dingin berakhir sehingga praktis peta dunia didominasi oleh blok kapitalis-liberal. Dalam arena tunggal semacam itu, pertarungan besar bukan lagi terjadi dalam ranah politik-ideologi, melainkan politik-ekonomi. Perebutan kandungan alam strategis (minyak, emas, air, uranium dll) yang memiliki nilai ekonomi tinggi menjadi peristiwa besar di samping permainan moneter.
Perebutan kandungan alam serta permainan moneter biasa membawa implikasi politik, atau malah bersenjata politik. Sebagai misal ulah Amerika di Irak dan Afghanistan, serta isu terrorisme yang juga mengenai Indonesia. Indonesia belum mampu bangkit dari posisinya yang lemah meskipun secara geografis posisi Indonesia demikian strategis baik secara politik maupun ekonomi. Visi geoekonomi belum tampak dalam kebijakan pemimpin kita, hingga kita kalah sangat jauh dari Singapura yang mampu memanfaatkan posisi geografisnya sebagai negara persinggahan bisnis dunia di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu ada bahasan yang menjadi titik penting yang harus mampu kita cerna, agar kita tidak gagap menyoal wacana ini. Yaitu : 1. Tahap-tahap perkembangan sistem dunia (world system). 2. Pengertian, geopolitik & ekonomi. 3. Posisi Indonesia secara geopolitik & ekonomi selama perang dingin dan era neoliberal. 4. Misi gerakan dalam kenyataan geopolitik dan geoekonomi kontemporer. 5. Melacak strategi penguasaan ekonomi dan politik di dunia. 6. Kualitas-kualitas kader pelopor yang dibutuhkan dalam kenyataan geopolitik dan geoekonomi.

Membedah PMII Perspektif Kaderisasi
Kita sering mendapati diri ada di tengah belantara pertanyaan, gugatan, ketidakpuasan sekaligus kebingungan mengenai kaderisasi. Semuanya campur aduk tak tertata, antara pertanyaan mendasar dengan pertanyaan teknis. Pertanyaan Apa tujuan kaderisasi kita? Untuk apa kaderisasi kita? terlontar bersamaan dengan pertanyaan: bagaimana metodenya? Apa isi materinya? Apa sajakah buku-buku referensinya? Bagaimana distribusi kader nanti? Siapa instruktur dan pematerinya?
Semua itu pertanyaan faktual, artinya relevan untuk diajukan. Soalnya adalah bahwa menata pertanyaan sesuai dengan proporsinya masing-masing, jarang terjadi. Lalu mengurutkan, memahami kembali dan mengakumulasikan jawaban-jawaban sebagaimana telah diberikan dari Kongres ke Kongres, juga jarang dilakukan.
Ketika kita (PMII) berada di tengah situasi otoritarianisme Orde Baru, PMII sepuas-puasnya mereguk khazanah intelektual dan mengambil inspirasi gerakan serta kosakata Marxian. Ternyata pilihan tersebut ampuh sebagai jalan mengetahui bahwa orang-orang PMII beserta organisasinya, adalah bagian dari masyarakat pinggiran bangsa ini yang secara sistematis memang dipelihara untuk tetap di pinggir. Lebih dari itu, pilihan tersebut juga ampuh untuk membangkitkan radikalisme kita, sehingga PMII berani mengisi garis depan perjuangan melawan negara sampai akhir dekade 1990.
Saat itu, tujuan PMII dan tujuan kaderisasi seolah-olah telah terumuskan dalam bentuk final, konkrit dan mewujud secara material: membela rakyat tertindas. Di tengah situasi zaman itu, struktur permukaan dari kenyataan yang dihadapi mahasiswa memang mudah menciptakan situasi psikologis yang sarat dengan heroisme.
Sementara zaman berubah dengan cepat, kampanye demokrasi dan slogan reformasi melahirkan desentralisasi; ruang kompetisipun terbuka sangat lebar. Gerakan ekstraparlementer tidak lagi menjadi domain utama gerakan mahasiswa. Kita bertemu dengan organisasi ‘kanan’ yang secara ‘tiba-tiba’ mendominasi ruang opini gerakan mahasiswa. Bersamaan dengan itu kita menemukan bahwa ‘rival’ lama kita ternyata masih tetap bertahan dan masih eksis. Pada saat itu, kita merasa kehilangan sifat ‘kanan’ kita: kita kurang Islami, kurang menghargai simbol dan seterusnya.
Situasi tersebut persis terjadi saat inspirasi gerakan dan kosakata Marxian belum disadari sepenuhnya sebagai sumber energi-eksternal pada masanya, yakni situasi nasional dekade 1990. Dengan kalimat lain, kita masih cenderung ‘kiri’ dalam kosakata dan sedikit ‘kiri’ dalam pikiran, namun kita ingin ‘kanan’ juga. Ambang antara ‘kiri’ dan ‘kanan’ inilah yang harus kita atasi.
Maka kita harus mengingat kembali tujuan dasar kaderisasi PMII, atau untuk apakah kaderisasi PMII dilakukan? Melihat kembali dan merekonstruksi tujuan ini penting, mengingat telah demikian banyak input intelektual dan pengalaman gerakan yang dipunyai PMII. Begitu banyaknya sehingga tujuan kaderisasi kita sering tak terbaca dan teringat, tergantikan dengan ‘bahasa-bahasa’  lain. Intensitas pergaulan dan kompetisi kita dengan organisasi ‘kiri’ dan organisasi ‘kanan’ kerap menimbulkan sikap ‘kecil hati’ di satu sisi dan terlalu ‘merasa besar diri’ di sisi yang lain. Bahkan kadang-kadang muncul sikap reaksioner.
Pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan menjadi dua ikon secara umum.Pertama, pelaku kaderisasi (subyek).Dan kedua,sasaran kaderisasi (obyek).Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi adalah individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi dan kebijakan- kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugas-tugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan misi organisasi.
Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi.Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan yang di atas rata-rata orang umum. Bung Hatta pernah menyatakan kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.”
Pengkaderan di PMII bukan semata-mata hendak menjadikan orang terdidik secara intelektual, berwawasan, dan terampil secara teknis,melainkan juga membekali (tepatnya: mengingatkan) individu atas tugas-tugas kekhalifahan yang harus diemban manusia sebagai hamba tuhan (‘abdullah). Selain itu pengkaderan juga bermaksud membangun keberpihakan individu terhadap masyarakat besar darimana dia berasal. Sehingga pengetahuan dan keterampilan individual apapun yang didapat oleh kader, baik dari PMII maupun dari luar PMII, setelah mengikuti pengkaderan PMII seorang kader diharapkan akan mengabdikan pengetahuan dan keterampilan tersebut bagi kolektivitas. Bukan diabdikan bagi kebesaran dan kejayaan individual.
Wujud dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi. Indikator termudah yang seringkali dijadikan ukuran keberhasilan dari sebuah organisasi adalah seberapa banyak (kuantitas) dan seberapa hebat (kualitas), integritas dan kapabilitas out put (alumni) yang dihasilkannya.Minimnya sebuah organisasi dalam me-reproduksi intelektual, tokoh atau pemimpin yang memiliki kecakapan di bidangnya (profesional), kritis, visioner dan berkarakter akan menunjukkan macetnya sebuah organisasi yang berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh organisasi.
Sistem pengkaderan di PMII diarahkan pada terciptanya individu-individu yang merdeka, otonom, independen, baik dalam bepikir, bersikap maupun berperilaku serta memiliki kapasitas dan kepedulian berpartisipasi secara kritis dalam setiap aksi perubahan menuju tatanan masyarakat, negara dan dunia yang PMII cita-citakan.

Mentality and Character Building
Mental digunakan untuk menyebut kapasitas psikologis orang dalam merespond problem-problem kehidupan. Ada orang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi problem seberat apapun dan seberapa lamapun. Nah orang seperti ini disebut kuat mentalnya. Adapun jika seseorang memiliki kapasitas psikologis dibawah normal sehingga ketika berhadapan dengan problem ia merasa minder, menyerah sebelum bertarung,maka ia disebut sebagai orang yang lemah mentalnya. Jika sangat parah disebut memiliki keterbelakangan mental. Jika dihubungkan dengan kemampuannya menyelaraskan diri dengan nilai-nilai, maka yang positif disebut orang yang sehat mentalnya sementara orang banyak melakukan perilaku menyimpang disebut sebagai orang yang sakit mental.
Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Salah satu contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan.hal ini yang kadang menyebabkan keraguan atau bahkan ketakutan untuk bertindak, sehingga terjebak di dalam kelemahan. Kemudian berkaitan dengan transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas dimana cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama,organisasi dsb.sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan sehari-hari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan pengembangan diarahkan untuk proses transformasi etos dalam membentuk karakter dan mental yang kuat.
Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuannya, tidak hanya ditentukan oleh dimilikinya sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa "Bangsa yang besar yang dapat dilihat dari kualitas/karakter bangsa (manusia) itu sendiri". Dilihat dari segi manajemen suatu organisasi, maka unsur manusia merupakan unsur yanng paling utama dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya seperti; uang, metode kerja, mesin, perlengkapan dan pasar, dapat dikataka demikian karena tidak dapat dipungkiri bahwa adanya dayaguna, manfaat, dan peran unsur-unsur tersebut, hanya dimungkinkan apabila unsur "manusia" mempunyai , memiliki daya/kekuatan untuk memberdayakan berbagai unsur dimaksud sehingga masing-masing unsur dapat memberi hasil, manfaat, dayaguna dan peran dalam manajemen tersebut.
Karakter sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berorganisasi, baik organisai pemerintahan maupun organisasi swadaya/usaha dan lain sebagainya terlebih bagi kita yang berproses di PMII. Dapat dikatakan bahwa karakter manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kunci yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita perjuangan guna terwjudnya masyarakat adil dan makmur berlandaskan Pancasila. Dikatakan penting karena karakter mempunyai makna atau nilai yang sangat mendasar untuk mempengaruhi segenap pikiran, tindakan dan perbuatan setiap insan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.




[1] Ditulis sebagai salah satu syarat menjadi peserta Pelatihan Kader Lanjut (PKL) Oleh Pegurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang.

[2] Kader dari Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Walisongo Semarang, Pernah menjadi Koord. Pengkaderan PR PMII Fak Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang (Sekarang Rayon Abdurrahman Wahid FITK UIN Walisongo Semarang), kemudian juga anggota staff Dept Pengkaderan di PK PMII UIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment