SELAMAT DATANG DI BLOG ABDUL HALIM SOLKAN

Semoga segala yang penulis atau blogger tampilkan dapat bermanfaat!

Wednesday 29 December 2010

Dicari Pemimpin Sejati




Judul Buku : Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Impian
Penulis : Maswadi Rauf, dkk.
Cetakan : Pertama, Maret 2009
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tebal Halaman : XII + 342 hlm.
Resentator : Eni Putri Setyowati


Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan proses pendewasaan dalam kehidupan berdemokrasi. Pada pemilu Presiden 2009 yang tinggal menghitung bulan ini, diharapkan dapat membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Lalu, sosok ideal seperti apakah yang pantas memimpin Indonesia lima tahun kedepan ?

Sebelum membahas sosok presiden ideal 2009-2014 yang menjadi point menarik dalam buku ini, terlebih dahulu kita akan disuguhkan mengenai sistem presidensial yang dianut oleh negara kita.
Perkenalan bangsa Indonesia dengan sistem presidensial dimulai sejak awal, hal itu karena Founding Fathers yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan lembaga penerusnya yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersepakat untuk menggunakan sistem presidensial bagi Republik Indonesia Yang nanti akan dibentuk. Salah satu alasan dipilihnya sistem presidensial ini adalah peranan yang besar dari presiden yang dianggap lebih sesuai dengan budaya paternalistis yang dianut kuat oleh bangsa Indonesia.

Dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan adalah presiden yang sekaligus merupakan kepala negara. Kedudukan presiden dan perlemen adalah sama-sama kuat, baik presiden maupun parlemen memperoleh legitimasi masing-masing melalui pemilu yang terpisah.

Menurut Syamsuddin Haris, sistem presidensial memiliki tiga kelemahan, yaitu: pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan atau jalan buntu politik (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Kedua, kekacauan sistemik yang melekat pada presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap (fixed term) sehingga tidak ada peluang mengganti presiden di tengah jalan jika kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip “pemenang mengambil semua” yang inheren di dalam sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai yang umumnya menggunakan sistem dua putaran pemilihan presiden, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim plihan-pilihan kebijakannya atas nama rakyat, dibandingkan lembaga perlemen yang didominasi kepentingan partisan dari partai-partai politik.

Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan visi yang jelas untuk memperkuat sistem presidensial, selain itu juga diperlukan pengaturan kepartaian dan pengurangan derajat potensi konflik presiden dengan legislatif.

Presiden Ideal

Presiden ideal untuk 232 juta penduduk Indonesia bukanlah presiden yang akan memimpin republik hayalan atau republik mimpi. Sosok ideal presiden RI 2009-2014 hendaklah memiliki sifat sikap, kemampuan dan kemauan untuk Jujur, konsisten dan adil; Pertama, Membuat perubahan yang akseleratif dan progresif dalam pembangunan sosial-ekonomi dan penyempurnaan dan penguatan institusi pemerintahan Kedua, Memilih pasangan yang tepat sekaligus mengendalikan agar bekerja mensukseskan misi bernegara dan misi kepresidenan. Ketiga, Mendahulukan suksesnya misi masa kepresidenan, termasuk meletakkan fondasi untuk kehidupan berbangsa untuk 25 tahun berikutnya. Keempat, Mejalankan manajemen politik yang produktif untuk tujuan bernegara, bukan sekedar menikmati kemenangan pemilu. Kelima, Membuat kebinet dream team yang anggota-anggotanya diangkat berdasarkan seminimal mungkin pertimbangan profesianalisme, kapasitas, integritas, kekompakan dan loyalitas terhadap misi kepresidenan.

Meskipun ditulis oleh kalangan akademisi namun buku ini sangat menarik dan tidak membosankan. Cara penyampaian yang sistematis dan ilmiah membuat buku ini mudah dicerna oleh kalangan pembaca dari kalangan universitas, praktisi politik maupun orang awam. Dalam buku ini juga dipaparkan mengenai peta politik, format kampenye pemilihan, prilaku pemilih dan pengalaman pemilihan presiden 2004.

Buku yang merupakan bunga rampai hasil seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Banjarmasin 2008 ini dapat mengisi kekosongan kepustakaan kita mengenai kaitan antara sistem presidensialisme, multi partai dan mencari sosok ideal pemimpin dan cara memimpin Indonesia.

Maksimalkan Potensi Tersembunyi

Dalam diri manusia terdapat organ yang memiliki fungsi vital. Organ ini namanya otak. Otak merupakan sumber dari segala gerak yang dilakukan manusia.
Berdasarkan aspek kesadarannya, otak dibagi menjadi dua bagian. Terdiri dari otak sadar dan otak bawah sadar. Otak sadar memiliki empat fungsi utama, yaitu mengidentifikasi informasi yang masuk, membandingkan, menganalisis dan memutuskan. Sedang otak bawah sadar memiliki fungsi menyimpan seluruh pengalaman yang pernah dialami si empunya otak, mengatur pergerakan tubuh yang bergerak tanpa kita sadari dan sebagai gudang penyimpanan informasi.
Disebut otak bawah sadar bukan berarti tanpa adanya kesadaran dalam otak, malah justru sebaliknya, otak bawah sadar memiliki kemampuan tujuh kali lebih kuat dibanding kemampuan otak sadar, hanya otak sadar tidak menyadari kinerja otak bawah sadar, karena itu otak yang memiliki sifat universal ini disebut otak bawah sadar.
Pada Otak bawah sadar inilah tersimpan semua pengalaman hidup dan citra diri seseorang. Dia mengontrol seluruh pergerakan yang dilakukan seseorang, dari hal yang tidak disadari atau yang sudah menjadi kebiasaan dan hal-hal yang berkaitan dengan out-put seseorang. Karena sumber dari semua aktifitas tersimpan di otak bawah sadar. Otak bawah sadar menyimpan segala macam pengalaman yang pernah dilampaui seseorang. Potensi otak bawah sadar ini memiliki 88% dari seluruh kemampuan otak, sedang yang 12% adalah seluruh daya potensi otak sadar dalam memaksimalkan seluruh kemampuan otak.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Milton Erickson (seorang Maestro hypnotherapy) menyebutkan bahwa orang kebanyakan hanya mampu menggunakan kemampuan otaknya pada kisaran di bawah 10% dan penemuaan terbanyak manusia menggunakan potensi otaknya di bawah 5% dari seluruh kemampuan otak. Lalu kemana potensi yang 90% ? Sisa yang besar itu adalah untuk dicari dan digali.
Kemampuan otak bawah sadar merupakan kemampuan yang belum digunakan, sedang kemampuannya tujuh kali lipat dibanding otak sadar, maka kemampuan tersembunyi tersebut harus kita gali. Bagaimana cara menembus otak bawah sadar? Caranya adalah membawa diri kita dalam suasana rileks, nyaman dan penuh kedamaian. Di saat kondisi sperti itu, seseorang disebut dalam kondisi alpha, disaat itu juga seseorang telah ada di alam bawah sadar. Pada kondisi tersebut seseorang dapat berbicara dengan dirinya sendiri (self-talk) untuk memprogram isi otak sesuai keinginannya sehingga seseorang dapat mencapai cita-citanya.
Yang perlu diketahui adalah bahwa pikiran bawah sadar tidak pernah mengetahui perbedaan antara imajinasi dengan kenyataan. Pikiran bawah sadar tidak pernah memiliki mekanisme untuk mengetahui hal-hal yang nyata ataupun yang bukan.
Karena pikiran bawah sadar memiliki empat hukum pasti, yaitu positif, kalimat saat ini (present tense), bersifat pribadi dan pengulangan. Jadi lakukanlah dengan keempat hukum tersebut saat memprogram pikiran bawah sadar. Sehingga kita dapat mencapai cita-cita lebih cepat dan lebih memuaskan serta dapat memanfaatkan otak yang begitu luar biasa kemampuannya dialam semesta ini.

Tuesday 28 December 2010

Sekolah Alam; Jembatan Pendidikan


Memberi Kebebasan dalam belajar dengan berinteraksi langsung dengan alam, merupakan karakteristik metode pembelajaran dalam sekolah alam. Keberadaaan sekolah alam, juga menunjukkan model pendidikan yang peduli pada lingkungan sekitar.
Permasalahan lingkungan memang bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata. Siswa SD kelas tiga, bahkan telah mengetahui secara detail permasalahan yang ada. Mereka juga berpandapat bahwa masalah ini seharusnya ditangani secara serius dan mendalam. Akan tetapi, untuk menangani hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tanngan. “Permasalahan lingkungan tersebut seperti lingkaran setan”, ungkap Nana Kariada Tri Martuti, seorang pakar lingkungan yang juga dosen biologi Unnes. Dia menegaskan bahwa ketika kita mempertahankan lingkungan hijau yang ada, kita juga membutuhkan perumahan karena kepadatan penduduk. Kemudian, untuk meningkatkan taraf ekonomi, wilayah – wilayah hijau tersebut di ubah menjadi proyek – proyek yang mendatangkan banyak pendapatan.
Hal inilah yang terjadi pada kota semarang kini. Daerah – daerah hijau sudah mulai terkikis. Di daerah mijen yang dulu penuh dengan hutan karet, kini telah dijadikan bisnis property, lapangan golf, perumahan dan bisnis semacam itu lainnya. Padahal hutan karet itu berfungsi sebagai daerah penyerapan air. Dengan rusaknya wilayah tersebut, akhirnya terjadilah banjir bandang yang seperti kemarin terjadi di Mangkang. Dari sini, kita kembalikan pada lingkungan itu sendiri, dimana lingkungan bukanlah hanya tanaman, bumi dan hewan. Namun, manusia juga termasuk salah satu unsur dalam lingkungan. Ini,menunjukkan harus adanya hubungan timbal balik antara manusia dan alam agar tercipta harmonisasi manusia dan alam. Ketika itu tidak tercipta, maka akan terjadi kerusakan pada keduanya.
Manusia yang merupakan unsur lingkungan, tentunya membutuhkan pendidikan yang tepat agar mengerti akan tugas dan fungsinya. (Tulisan Hakim)
(Tulisan Busro sebagai Angel)
Harmonisasi Manusia dan Alam
Hubungan timbal balik antara manusia dan alam merupakan lingkungan dalam bentuk culture. Dari sini bisa dipastikan bahwa kerusakan alam yang ada, erat kaitannya dengan ulah tangan manusia. Ini semua disebabkan karena tidak ada keharmonisan antara manusia dengan alam. “Manusia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh alam”, ungkap Mia Inayati, Direktur sekolah alam Ar-Ridho.
Konsep harmonisasi manusia dan alam memang sulit untuk diwujudkan. Akan tetapi, ini ditampik oleh konsep pendidikan yang ada pada sekolah alam. Dimana, di sekolah alam siswa selalu berinteraksi dengan alam dalam segala aktifitasnya. Sehingga, ini menimbulkan kedekatan emosional tersendiri antara manusia dengan alam. Hal senada juga diucapkan Mia , “untuk membuat siswa bisa menyatu dengan alam, siswa dilatih berkebun”.
Mia juga menjelaskan bahwa dengan berkebun, siswa akan peka terhadap Lingkungan, khususnya dengan tanaman. Ini karena media pembelajaran yang digunakan adalah tanaman. Tanaman merupakan mahluk hayati yang tidak bisa bicara, ketika ia di injak, diduduki, dan dipotong, ia akan diam saja. Disini siswa akan belajar merasakan apa yang dirasakan mahluk Tuhan lainnya.
Pelajaran kebun merupakan cara sederhana untuk melatih kepekaan manusia terhadap mahluk Tuhan. Metode ini ternyata tidak hanya ada di Sekolah Alam Ar-Ridho, tetapi juga ada di sekolah alam Ungaran (SAUNG). Ini diketahui dari Dahlan Murdani ketua Yayasan SAUNG yang menyatakan bahwa supaya anak peduli dengan alam, anak harus didekatkan dengannya melalui cara berkebun. “ Ini adalah cara sederhana, tapi mempunyai pengaruh yang besar untuk pembiasaan anak pada Lingkungan”, tambah Dahlan.
Jembatan Pendidikan
Ada beberapa faktor yang membuat sekolah alam menjadi jembatan pendidikan. Pertama, Proses pembelajaran di sekolah alam yang lebih menekankan pada metode praktik secara bebas. Dimana metode ini tidak ditemukan di pendidikan formal pada umumnya.
Pada sekolah alam pembelajaran dilakukan dengan penyampaian teori sebesar 25% dan praktik sebesar 75%, itulah yang diungkapkan oleh Dahlan Murdani. Sedangkan pendidikan formal pada umumnya teori diberikan 80% dan praktik hanya 20%. Inilah yang dimaksud oleh Bahrudin, seorang pakar pendidikan tentang pendidikan yang ada saat ini masih tertatih – tatih untuk bisa keluar dari jeratan kolonial Belanda.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pendidikan formal yang ada kini berideologikan konservatisme, yaitu pendidikan yang sistemnya sulit keluar dari tradisi yang telah ada. Berbeda dengan pendidikan yang ada di sekolah alam, dimana tujuannya adalah mencerdaskan manusia. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Dahlan Murdani bahwa Sekolah yang bagus adalah sekolah yang menerima murid dengan tingkatan intelektual yang berbeda, tapi keluar dengan intelektual yang rata – rata hampir sama. “Jikalau sekolah menerima siswa dengan seleksi yang ketat untuk mendapatkan siswa terbaik, itu menunjukkan bukan sekolahnya yang baik, tapi siswanya memang sudah baik”, ungkapnya mempertegas. Kebebasan berkreatifitas yang ada di sekolah alam itulah yang memicu tingkat kepedulian pada lingkungan lebih tinggi.
Kedua, mengingat perkataan Karl Marx bahwa selama masyarakat masih terbagi atas kelas – kelas (Tingkatan sosial), maka pada kelas yang berkuasalah akan terhimpun segala kekuatan dan kekayaan. Maka, dengan tiadanya peraturan memakai pakaian seragam menunjukkan bahwa di sekolah alam itu tidak ada pembagian kelas. ’’Tidak diadakannya pemakaian seragam, supaya tidak ada rasa beda membedakan antar anak“, jelas ketua yayasan SAUNG. Mengutip perkataan Darmaningtyas dalam buku Kapitalisme Pendidikan karya Francis Wahono bahwa siswa sekolah lebih baik tidak memakai seragam, karena seragam itu hanya menutupi jati diri mereka sebenarnya. Sedangkan, dengan memakai pakaian bebas mereka akan berteman dengan mengetahui jati diri masing – masing. Dari itu juga menunjukkan bahwa semua manusia itu sama yaitu Khalifatu fil ardhi .
Ketika siswa bisa bergaul dengan baik tanpa membedakan status sosial, mereka akan dapat mejalankan tugasnya dengan baik sebagai pemakmur bumi. “Itu sesuai dengan konsep Islam, dimana manusia adalah khalifah dan hamba Allah yang tugasnya memakmurkan bumi“, papar Dahlan Murdani. Apabila semua ini tercapai, maka akan terminimalisirlah kerusakan lingkungan.
Faktor – faktor di atas menunjukkan, meskipun sekolah alam berada dibawah naungan dinas, ia bisa menjalankan proses pembelajaran yang berbeda dari pendidikan formal pada umumnya. Konsep pendidikan sekolah alam mengembalikan pendidikan pada hakikat dan tujuan awalnya, yaitu memanusiakan manusia dan mendewasakan manusia.

Wednesday 26 May 2010

REFORMASI TANPA IDEOLOGI

Sabtu, 24 April 2010 | 03:25 WIB
Oleh Komaruddin Hidayat
Dalam pengertiannya yang populer, ideologi adalah sebuah doktrin, cita-cita, ataupun kepercayaan yang dijadikan acuan dan pedoman bagi sebuah gerakan sosial untuk mewujudkan cetak biru masyarakat yang diidealkan. Sebuah gerakan ideologis akan sukses jika mampu membangkitkan militansi pendukungnya karena tertarik akan cita-cita sosial yang ditawarkan sehingga muncul kohensi dan militansi para pendukungnya.
Tanpa adanya ”musuh bersama” yang mengikat anak bangsa, ideologi biasanya akan pudar pelan-pelan. Perseteruan Barat dan Timur, misalnya, saat ini tak lagi militan karena ideologi kapitalisme dan sosialisme kian membaur.
Di Indonesia, gerakan ideologis di panggung nasional yang militan pernah terjadi dua kali. Pertama, gerakan kemerdekaan yang puncaknya pada proklamasi kemerdekaan 1945 dan, kedua, gerakan komunisme yang memperoleh counter ideologi Islamisme dan Pancasila pada 1965. Dua peristiwa itu telah mengantarkan perubahan cetak biru sosial-politik secara spektakuler. Setelah itu, ayunan pendulum ideologi keagamaan cenderung berada di garis tengah. Namun, secara ekonomi muncul ideologi baru yang sangat radikal, yakni kapitalisme global yang merobohkan dan meluluhlantakkan ekonomi tradisional dengan segala implikasinya.
Generasi peralihan
Ketika bangsa-bangsa lain telah memasuki era sains dan teknologi modern, Indonesia masih bersikukuh dengan pendekatan ideologis dalam merespons beragam tantangan ekonomi dan politik sehingga secara empiris bangsa ini secara ekonomi kian tertinggal.
Beberapa pemimpin dunia sudah mengarahkan masyarakatnya pada scientific based society (masyarakat berbasis sains) yang menghargai profesionalisme, transparansi, dan efektivitas kerja sehingga ketika mengangkat pejabat publik tidak semata berdasarkan pertimbangan balas budi. Sayangnya, kultur politik kita masih lebih senang mempertimbangkan mayoritas-minoritas, etnisitas, kelompok politik, dan perkoncoan sehingga banyak jabatan strategis pemerintah diisi oleh orang-orang yang tidak kapabel semata untuk menjaga stabilitas politik yang sangat konsumtif.
Pasca-Soeharto adalah masa transisi yang mengakhiri jajaran tokoh ’45 dan ’66. Durasi ini seakan dibagi-bagi agar mereka memperoleh jatah untuk berkuasa meski hanya sebentar karena pada Pemilu 2014 tiba giliran lapisan generasi baru yang lahir dan tumbuh pada era kapitalisme dan pasar bebas. Mereka dibesarkan oleh kampus dan iklim budaya global, bukannya anak kandung ideologi kemerdekaan ataupun keagamaan yang kental. Dalam jumlah yang kecil memang masih ada dan tetap akan ada kelompok ideologi keagamaan ini yang diragukan loyalitasnya pada Pancasila dan Indonesia.
Dengan munculnya fenomena global networking society dan kian melemahnya identitas lokal dan nasional, pemerintah mesti menciptakan ideologi baru yang menyatukan kepentingan semua anak bangsa dan menjadi pengikat kohesi emosi dan cita-cita bersama, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1945 dan 1966. Di sinilah peluang dan panggilan strategis Presiden SBY untuk mengantarkan masa peralihan generasi dan ideologi ini demi masa depan Indonesia. Dalam konteks ini SBY dan Partai Demokrat (PD) bisa didorong untuk menjadi model bagaimana membangun partai politik yang cerdas, bersih, santun, dan progresif untuk menampung aspirasi dan dedikasi generasi baru yang militan, bersih, dan visioner.
Setelah PD selesai kongres, SBY sebagai Presiden dan negarawan sebaiknya mengambil posisi yang sama dengan semua parpol untuk mempersiapkan Pemilu 2014 yang hasilnya benar-benar menjanjikan bagi masa depan bangsa. Segera dibentuk anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kredibel sehingga Pemilu 2014 nanti menjadi garis demarkasi dan landasan tinggal landas untuk menuju Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan sejahtera. Kalau SBY berhasil menyederhanakan jumlah parpol menjadi paling banyak sepuluh, itu sudah suatu prestasi historis.
Terungkapnya berbagai skandal korupsi di kalangan polisi, jaksa, Direktorat Jenderal Pajak, dan DPR mesti dimanfaatkan sebagai momentum bagi SBY untuk melakukan perbaikan secara radikal dan mewariskan kultur pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kalau tidak, ibarat bengkel kendaraan, pemerintah ini bisanya hanya sibuk bongkar, tetapi tidak bisa pasang. Berhasil menangkap sederet koruptor masa lalu dan yang tengah berjalan, tetapi tidak berhasil membangun institusi baru untuk dibanggakan pada generasi penerus.
Kita ingin sekali tiga tahun ke depan ini muncul suasana kabatinan baru yang segar, optimistis, dan penuh antusias untuk mengakhiri era transisional yang semrawut, hiruk-pikuk, dan mahal. Bangsa ini memerlukan ideologi baru yang menimbulkan antusias, semangat juang, dan mampu mengikat kohesi bangsa tanpa menghilangkan keragaman agama dan budaya. Ini merupakan salah satu tantangan yang mesti dijawab oleh pemerintahan SBY. Kita merindukan pikiran-pikiran cerdas dan penuh inspirasi dari komunitas politisi di Senayan, dari kalangan menteri dan para intelektual kampus serta LSM.
Rakyat sudah lelah dengan wacana yang penuh gugatan, tetapi tanpa alternatif solusi. Berita media massa selama ini penuh dengan kejutan, tetapi bukan kejutan gagasan yang mencerahkan. Kita memerlukan ideologi yang mendorong terwujudnya Indonesia cerdas, Indonesia sehat, dan Indonesia sejahtera.
Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta