SELAMAT DATANG DI BLOG ABDUL HALIM SOLKAN

Semoga segala yang penulis atau blogger tampilkan dapat bermanfaat!

Wednesday 18 June 2014

Pancasila dan Konstitusi Negara


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan dan perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
B.     Batasan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas yaitu:
1.      Bagaimana proses terbentuknya Pancasila?
2.      Apa hakikat dan fungsi Pancasila?
3.      Apa saja nilai kehidupan yang ada dalam Pancasila?
4.      Bagaimana hakikat Konstitusi?
5.      Bagaimana proses terbentuknya konstitusi di Indonesia?
6.      Bagaimana analisis hakikat UUD 1945 dan perubahannya?
7.      Bagaimana hirarki perundang-undangan di Indonesia?

BAB II
PANCASILA DASAR NEGARA

A.  Proses Terbentuknya Pancasila
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1.      Tidak boleh melakukan kekerasan
2.      Tidak boleh mencuri
3.      Tidak boleh berjiwa dengki
4.      Tidak boleh berbohong
5.      Tidak boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
Tiga setengah abad lebih, bangsa kita dijajah bangsa asing. Tahun 1511 Bangsa Portugis merebut Malaka dan disusul Spanyol dan Inggris yang juga berdalih mencari rempah-rempah di bumi Nusantara. Kemudian Tahun 1596 Bangsa Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan VOC.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia, sebab tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah melawan tentara Sekutu.
Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura) Dalam maklumat tersebut sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama tersebut yang dibicarakan khusus mengenai dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama tersebut 2 (dua) Tokoh membahas dan mengusulkan dasar negara yaitu Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno.
Tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai calon dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Selain secara lisan M. Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indonesia, Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno (Bung Karno) mengajukan usul mengenai calon dasar negara yaitu: Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama PANCASILA, lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1.      Sosio nasionalisme
2.      Sosio demokrasi
3.      Ketuhanan.
Selanjutnya oleh Bung Karno tiga hal tersebut masih bisa diperas lagi menjadi Ekasila yaitu GOTONG ROYONG.
Selesai sidang pembahasan Dasar Negara, maka selanjutnya pada hari yang sama (1 Juni 1945) para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945.
Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muh. Yamin, M. Sutardjo Kartohadikusumo, Mr. A.A. Maramis, R. Otto Iskandar Dinata dan Drs. Muh. Hatta.
 Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujui dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul - usul/ Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. Muh. Yamin. Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini berhasil merumuskan Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian dikenal dengan sebutan PIAGAM JAKARTA.
Dalam sidang BPUPKI kedua, Tanggal 10 s/d 16 Juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dan pada Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan mem-Proklamasi-kan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama :
1.      Mengesahkan Rancangan Hukum Dasar dengan Preambulnya (Pembukaan)
2.      Memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang sangat panjang, sehingga sebelum mengesahkan Preambul, Drs. Muhammad Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata KETUHANAN yang berbunyi 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan.
Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Bung Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan 'Yang Maha Esa'.[1]
B.  Hakikat dan Fungsi Pancasila
Bicara tentang hakikat dan fungsi berarti membicarakan tentang hal-hal yang hakiki atau mendasar dan juga tentang upaya memahami hakikat pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pancasila memiliki keluasan arti filosofis, maka hakikat dan fungsi pancasila, antara lain adalah sebagai berikut;
1.      Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/tumpuan dan tata cara penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
2.      Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
3.      Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam setiap sendi kehidupan dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
4.      Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia.
5.      Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia.
6.      Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan) Pancasila.
7.      Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
8.      Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus adalah kewajiban moralseluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita sebagai manusia.[2]
C.  Nilai Kehidupan Yang Ada Dalam Pancasila
Nilai kehidupan yang ada dalam pancasila terlihat dalam setiap nilai yang terkandung dalam tiap sila pancasila. Secara singkat nilai-nilai kehidupan yang ada dalam pancasila yaitu:[3]
1.    Sila ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia percaya dan taqwa terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. maka Negara Indonesia memberikan jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan kata lain di dalam Negara Indonesia tidak ada dan tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (atheisme).
2.    Sila kemanusian Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain. Jadi kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik terhadap diri pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan hewan
3.    Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa. Jadi Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
4.    Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Manusia Indonesia menghayati dan menjungjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayanya. Jadi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti, bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan dan keputusan-keputusannya diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat dan wakilnya.
5.    Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Jadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sesuai dengan UUD 1945 makna keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur.
Sila “keadilan sosial” adalah tujuan dari empat sila yang mendahuluinya, merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah tata-masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila.
BAB III
KONSTITUSI NEGARA

A.  Hakikat Konstitusi
Konstitusi dapat diartikan sebagai sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi Negara dan susunan pemerintahan suatu Negara.[4]  A.V Dicey membedakan antara ketentuan konstitusi yang mempunyai sifat hukum dan tidak mempunyai sifat hukum. Pembedaan ini didasarkan pada kriteria apakah pengadilan berwenang memaksakan penataanya dan/atau mengambil tindakan hukum bagi yang tidak taat.[5] 
Dilihat dari wujudnya, konstitusi dapat dibedakan antara konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis dapat dibedakan antara yang tertulis dalam satu dokumen khusus atau dalam beberapa dokumen yang saling terkait satu sama lain dan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan lain. Konstitusi tertulis yang tersusun dalam satu dokumen khusus misalnya UUD 1945, atau UUD Amerika Serikat 1787. Sedangkan konstitusi tertulis yang terdapat dalam  beberapa dokumen misalnya Undang-Undang (UU), atau di Inggris kaidah-kaidah Konstitusi tertulisnya, terdapat dalam undang-undang biasa (ordinary law atau statuate).  Sedangkan Konstitusi tidak tertulis dapat dibedakan dalam tiga golongan.  Pertama, ketentuan konstitusi terdapat dalam kaidah-kaidah hukum adat sebagai jukum yang tidak tertulis. Kedua, ketentuan-ketentuan konstitusi yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Ketentuan untuk taat pada konvensi didasarkan  kepada pertimbangan-pertimbangan politik dan moral. Ketiga, adalah ketentuan adat istiadat.[6]
Sedangkan menurut sifatnya Kostitusi dapat klasifikasikan menjadi dua, yaitu  Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku. Yang dimaksud konstitusi fleksibel adalah konstitusi yang dapat dirubah tanpa prosedur khusus, dan sebaliknya konstitusi kaku adalah konstitusi yang mensyaratkan  prosedur khusus untuk merubahnya.[7]
Negra-negara yang menganut sistem Konstitusi fleksibel diantaranya adalah Inggris (UK) dan Selandia Baru, jadi didalam Negara Inggris untuk mengubah konsitusinya tanpa harus menunggu krisis hebat dan perkembangannya tanpa banyak kekerasan sehingga memungkinkan untuk membentuk dirinya sendiri sesuai kebutuhan dari masyarakat Inggris (UK).[8] Hal ini berbeda dengan Negara-negara yang menggunakan sistim Konstitusi kaku seperti di Negara Indonesia, di Negara Indonesia untuk dapat mengubah UUD 1945 ( konstitusi ) dibutuhkan prosedur-prosedur khusus sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 37 UUD “45 yaitu: 
1.      Usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat  apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2.       Setiap usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk dirubah beserta alasannya.
3.      Untuk mengubah pasal-pasal undang-undang dasar sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggoa Majelis Permusyawaratan Rakyat
4.      Putusan mengubah pasal undang-undang dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari MPR.[9]

Fungsi Konstitusi
Konstitusi atau UUD adalah hukum dasar yang tertulis. Hal itu mengandung pengertian sebagai berikut.
a.       Sebagai hukum, UUD bersifat mengikat, baik bagi pemerintah, setiap lembaga negara, lembaga masyarakat, maupun setiap warga negaranya.
b.      Selaku hukum, UUD berisi norma-norma, kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh semua pihak yang terikat dalam negara tersebut.
c.       Selaku hukum dasar, UUD berfungsi sebagai sumber hukum. Setiap produk hukum seperti UU, Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Pengganti UU (Perpu), serta setiap tindakan pemerintah dengan berbagai kebijakannya harus berdasarkan pada peraturan yang tertinggi, yaitu UUD.
Mengingat fungsinya seperti di atas, UUD dalam rangka tata urutan norma hukum yang berlaku merupakan hukum yang tertinggi. Karena fungsinya seperti itu, UUD juga mengemban fungsi sebagai alat kontrol, papan uji, atau alat untuk mengecek terhadap kesesuaian seluruh norma hukum yang berada dibawahnya.
Bagi suatu negara, konstitusi merupakan patokan dasar guna mengatur negara dan pemerintahan. Pada hakikatnya, konstitusi merupakan bentuk kontrak sosial yang dibuat dan disepakati oleh rakyat melalui para wakilnya.
B.  Proses Terbentuknya Konstitusi di Indonesia
UUD 45 dirancang sejak 29 mei 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ) yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat. Tugas utamanya adalah menyusun rancangan Undang-Undang sebagai salah satu persiapan untuk membentuk negara yang merdeka, namun anggota lembaga ini sibuk mengusung ideologinya masing-masing ketika membicarakan masalah ideologi negara. Akibatnya, pembahasan tentang rancangan UUD menjadi terbengkalai. Maka BPUPKI dalam sidang pertamanya membentuk panitia kecil untuk merumuskan UUD yang diberi nama Panitia Sembilan.[10] Dan pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan ini berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah naskah mukhodimah UUD yang kemudian diterima dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945.
Setelah itu Ir. Soekarno membentuk panitia kecil pada tanggal 16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas menyusun rancangan UUD dan membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang. Sehingga UUD atau konstitusi Negara Indonesia ditetapkan oleh PPKI pada hari sabtu  tanggal 18 Agustus 1945, dan pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Dengan demikian sejak itu Indonesia telah menjadi suatu Negara modern karena telah memiliki suatu sistem ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945.[11]
C.  Analisis Hakikat UUD 1945 dan Perubahannya
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Konstitusi atau  Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya sejak diproklamirkannya kemerdekaan negara Indonesia, yakni sebagai berikut:
1.      Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945- 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel (“Semi-Parlementer”) yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
2.      Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) 
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Namun karena tidak sesuai dengan jati diri bangsa serta mencuat isu disintegrasi, maka kemudian Indonesia berganti bentuk lagi menjadi Negara kesatuan Republik.
3.      Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959) 
Perubahan bentuk Negara secara otomatis juga membuat perubahan dalam konstitusinya. Mulai Pada tanggal 17 Agustus 1950 Konstitusi Indonesia berubah menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia. Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
4.      Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959-1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1.      Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
2.      MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
3.      Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
5.      Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998) 
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni, terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber alam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantaranya melalui sejumlah peraturan: 
o    Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya. 
o    Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum. 
o    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.[12]
6.      Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999 
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
7.      Periode  Pasca Reformasi (Amandemen) 
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
1.      Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
2.      Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.      Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil),
4.      Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945, dan
5.      Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Amandemen berarti perubahan atau mengubah (to amend). Tujuannya untuk memperkuat fungsi dan posisi UUD 1945 dengan mengakomodasikan aspirasi politik yang berkembang untuk mencapai tujuan negara seperti halnya yang dirumuskan oleh konstitusi itu sendiri. Cara melakukan amandemen setiap konstitusi dan praktisi implementasinya memiliki cara tersendiri yang telah diatur.
Dalam UUD 1945, Pasal 37 yang diberi wewenang untuk melakukannya adalah MPR. Amandemen UUD 1945 tersebut dilakukan pada saat berlangsungnya Sidang Umum MPR. Amandemen dimaksudkan supaya UUD 1945 disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan dinamika tuntutan masyarakat.[13]
UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia sampai sekarang ini telah mengalami  empat kali amandemen (perubahan) yang terjadi di era reformasi. Keempat amandemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Amandemen pertama dilakukan pada Sidang Umum  MPR 1999 dan disahkan 19 Oktober 1999.
Perubahan I UUD 1945 terdiri dari 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum inti Perubahan I UUD 1945 menyoroti perihal kekuasaan Presiden (eksekutif).[14]
Dalam perubahan ini terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam Pasal 5: ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang”, berubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang dialihkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 yang berbunyai: ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”, perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan Presiden, beralih ke tangan DPR.[15]
2.      Amandemen kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2000 dan disahkan 18 Agustus 2000.
Perubahan terdiri dari 5 bab dan 25 pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19 Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B; Bab IXA: Pasal 25E, Bab X, Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, asal 28G, Pasal  28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, DAN pasal 36C.[16] Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada perubahan dan kemajuan signifikan yaitu dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah BAB tersendiri, yakni BAB XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai dengan 28J. Dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses dialektika yang seruis dan panjang yang mengambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan HAM.[17]
3.      Amandemen ketiga dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan disahkan 10 November 2001.
Perubahan yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal7A, Pasal 7B, Pasal 7C, pasal 8, Pasal 11, Pasal 17; Bab VIIIA: Pasal 22C, Pasal 22D; Bab VIIB: Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA: Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G; Pasal 24, Pasal 24A,Pasal 24B, Pasal 24B, Pasal 24C.[18] Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman
4.      Amandemen keempat dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2002 disahkan 10 Agustus 2002.
Beberapa perubahan terdiri atas 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A, pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37.[19] Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
Amandemen UUD 1945 telah memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam UUD 1945. Perbaikan dan perubahan yang dimaksud antara lain:
1.      Adanya pembatasan atas kekuasaan presiden di Indonesia;
2.      Memperkuat dan menegaskan kembali peran kekuasaan legislatif di Indonesia;
3.      Mencantumkan hak asasi manusia Indonesia;
4.      Menegaskan kembali hak dan kewajiban negara ataupun warga negara;
5.      Otonomi daerah dan hak-hak rakyat di daerah ;
6.      Pembaharuan lembaga negara sehingga tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara.
Amandemen konstitusi dimaksudkan agar negara Indonesia benar-benar merupakan pemerintahan yang konstitusional (constitutional government). Pemerintah konstitusional tidak hanya pemerintahan itu berdasarkan pada sebuah konstitusi, tetapi konstitusi negara itu harus berisi adanya pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak warga negara.[20]
Wheare mengatakan perubahan cukup dengan “The ordinat legislatif process”, seperti di New Zealand. Sedangkan konstitusi yang tergolong rigrid, menurut Sri Soematri berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka cara perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;
2.      Oleh rakyat melalui satu referendum;
3.      Oleh sejumlah negara bagian khusus untuk negara serikat;
4.      Dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh satu lembaga negara yang khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Dalam salah satu karangan Ismail Suny mengemukakan bahwa proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara karena:
1.      Perubahan resmi,
2.      Penafiran hakim,
3.      Kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.[21]
Tujuan perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk:
1.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dan mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila;
2.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
3.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dalam peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi satu negara hukum dicita-citakan oleh UUD 1945;
4.      Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain dengan lembaga kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru dan mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;
5.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara yang mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etik, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara sejahtera;
6.      Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
7.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.[22]

D.  Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia
Adapun tata urutan perundangan menurut UUD 1945 di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Bentuk peraturan perundangan
o   UUD 1945
o   TAP MPR
o   UU dan Peraturan Pemerintah Pengganti
o   UU dan PERPU
o   PP
o   KEPRES
o   Peraturan pelaksana yang lebih rendah
2.      Ditinjau dari sistem konstitusi maka UUD 1945 merupakan bentuk peraturan yang lebih tinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi peraturan perundangan yang lebih rendah.
3.      Ditinjau dari prinsip negara hukum maka setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan yang berlaku yang lebih tinggi tinkatannya
4.      UUD, ketentuan dalam pasal UUD adalah ketentuan yang tertinggi tingkatannya, dan dilaksanakan dengan:
o   Ketetapan MPR
o   UU
o   Kepres
5.      Ketetapan MPR dibidang:
o   Legislatif dilaksanakan dengan UU
o   Eksekutif dilaksanakan dengan Kepres
6.      UU, untuk melaksanakan UUD dan ketetapan MPR. PEPERPU dibuat dalam keadaan terpaksa atau darurat
7.      Peraturan Pemerintah memuat ketentuan umum untuk melaksanakan UU
8.      Keputusan Presiden, keputusan yang bersifat khusus untuk melaksanakan ketentuan :
o   UUD
o   TAP MPR dibidang eksekutif
o   Peraturan Pemerintah
9.      Peraturan lainnya yang lebih rendah
BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
Sedangkan konstitusi merupakan aturan dasar yang dibentuk untuk mengatur dasar hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi menimbulkan terciptanya pembatasan kekuasaan melalui pembagian wewenang dan kekuasaan dalam menjalankan negara. Adanya konstitusi juga menjadi suatu hal yang sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga negara, sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah.
Perubahan konstitusi merupakan keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena bagaimanapun konstitusi haruslah sesuai dengan realitas kondisi bangsa dan warga negaranya. Di Indonesia tingginya tingkat kesulitan untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 ini menyebabkan kesulitan dalam menambah aspek-aspek yang diperlukan dalam suatu konstitusi.

B.   Penutup
Demikianlah makalah dari kami, sebagai rasa tanggung jawab kami atas tugas yang telah diberikan kepada kami. Semoga dengan penjelasan tentang pancasila dan konstitusi negara di atas dapat menambah pengetahuan kami pribadi dan umumnya bagi para pembaca sekalian.
Dalam penulisan makalah ini kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif masih kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Pemakalah mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan baik dari segi penulisannya maupun yang lain, semoga pemakalah yang lain bisa lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Wilujeng, Sri. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga, 2007.
Prof.Drs.H.A.W.Wijdaja.Peoman pelaksanaan pendidikan pancasila pada perguruan tinggi. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 1995
Pangeran Alhaj S.T.S Drs., Surya Partia Usman Drs. Materi Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud, 1995.
Bagir Manan. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negar. Bandung: Mandar Maju, 1995.
A.V. Dicey, sn introduction to study of the Law of the constitution, London: English language Book Society and mac millan, 10th. 1971
Khoirul Anam. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi. Yogyakarta: Inti Media, 2011.
C.F. Strong, konstitusi-konstitusi politik Modern studi perbandingan tentang sejarah dan bentuk , cetakan III.  Bandung: Nusa Media, 2010
Sri Jutmini dan Winarto, Pendidikan Kewarganwgaraan, Solo: PT  Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004.
El-Mumtaj. Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Ni’matul Huda., UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Al Marsudi Subandi. Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Jimly, Asshidiqie. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
A.G., Pringgodigdo. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Bandung: Majalah Hukum dan Masyarakat, 1958.

[1] Wilujeng, Sri. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan.Erlangga: Jakarta. hal. 4-10
[2] Prof.Drs.H.A.W.Wijdaja.Peoman pelaksanaan pendidikan pancasila pada perguruan tinggi.(jakarta:PT Raja Gravindo Persada 1995).h.173-174
[3] Pangeran Alhaj S.T.S Drs., Surya Partia Usman Drs., 1995. Materi Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta; Universitas Terbuka Depdikbud.
[4] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negar, Bandung: Mandar Maju, 1995. hal. 5
[5] A.V. Dicey, sn introduction to study of the Law of the constitution, London: English language Book Society and mac millan, 10th. 1971 hlm 23-24.
[6] Bagir Manan, Op. Cit, hal. 5-6
[7] Khoirul Anam, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi, Yogyakarta: Inti Media, 2011. hal. 136
[8] C.F. Strong, konstitusi-konstitusi politik Modern studi perbandingan tentang sejarah dan bentuk , cetakan III,  Bandung: Nusa Media, 2010. hal.192
[9] Khoirul Anam, Op. Cit, hal. 141
[10] Ibid,  hal. 143-144
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
[12] Ibid
[13] Sri Jutmini dan Winarto, Pendidikan Kewarganwgaraan, Solo: PT  Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004, hal.148
[14] El-Mumtaj. Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 88
[15] Ni’matul Huda., UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal.284
[16] El-Mumtaj. Majda, Loc. Cit.,                 
[17] bid., hal. 64-65 
[18] Ibid.,hal. 89.
[19] Ibid.,
[20] Sri Jutmini dan Winarto, Op. Cit, hal. 151
[21] Ibid.,
[22] Ni’matul Huda., Op. Cit, hal.198-199

No comments:

Post a Comment