Umat
Islam mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah puncak penutup wahyu Allah yang diperuntukkan
bagi manusia yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara
Malaikat Jibril.
Kodifikasi
atau pengumpulan Al-Qur’an menurut para ulama adalah salah satu dari pengertian
berikut : Pertama: Kodifikasi dari arti hifzuhu (menghafalkan dalam hati),
Jumma’ul Qur’an artinya Haffazuhu (penghafal-penghafalannya, orang yang
menghafalkannya dalam hati). Inilah makna yang dimaksud dalam firman Allah
kepada Nabi-nabi untuk senantiasa mengerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya
untuk membaca Al-Qur’an.
Kemurnian kitab suci
Al-Qur’an dijamin langsung oleh Allah yaitu Dzat yang menciptakan dan
menurunkan Al-Qur’an itu sendiri yang termaktub di dalam firman-Nya yaitu
Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Dan
kenyataannya kita bias melihat Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang mudah
dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Dari
pendahuluan diatas, maka dari penulis merumuskan bebrapa masalah yang nantinya
akan dibahas dalam makalah ini, terkait sejarah dan perkembangan Alqur’an.
Rumusan masalah tersebut antara lain:
A.
Bagaimana
Kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman ?
B.
Apa
perbedaan antara mushhaf al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman?
C.
Apa
yang mendorong khalifah untuk menghimpun dan membukukan al-Qur’an?
D.
Bagaimana
perkembangan penulisan al-Qur’an?
III.
PEMBAHASAN
A.
Kodifikasi
al-Qur’an pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman
1.
Kodifikasi
al-Qur’an pada masa Nabi
Al-Qur’an
dikumpulkan pada dua masa,yaitu masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur
Rasyidin. Masing-masing tahap Kodifikasi ini mempunyai keistimewaan tersendiri.
Kata “Kodifikasi”, kadang diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat.
Kadang pula diartikan penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan
keduanya ini berlaku pada tahap Kodifikasi di zaman nabi sekaligus, yaitu :
1.
Kodifikasi
dalam dada, dengan cara menghafal dan mengekspresikannya.
2.
Kodifikasi
dalam tulisan, dengan cara menulis dan mengukirnya.
Kedua sistem Kodifikasi tersebut sangat sempurna penjagaan dan
perhatian terhadap al-Qur’an al-Karim, baik penulisan dan pembukuan sebagai
kitab Allah yang suci dan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang abadi, yang tidak
dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Berikut ini akan kami jelaskan tahap
Kodifikasi Al-Qur’an diatas.
a.
Kodifikasi
Al-Qur’an dalam dada
Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi yang ummi. Otomatis, maka himmah Nabi hanya tercurahkan
untuk menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat dihafal sebagaimana diturunkan
kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal
dan membacakannya. Telah maklum bahwa beliau adalah Nabi yang buta huruf yang
diutus oleh Allah kepada bangsa Arab yang juga buta huruf. Allah berfirman
dalam surat Al-Jumu’ah:2 :
uqèd “Ï%©!$# y]yèt/ ’Îû z`¿Íh‹ÏiBW{$# Zwqß™u‘ öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.t“ãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% ’Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7•B ÇËÈ
Artinya
: ”Dia yang mengutus kepada umat yang ummi (Arab) seorang rasul diantara
mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka
(dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan kitab dan hikmah
kepada mereka.” (QS.Al-Jumu’ah:2)
Sudah
barang tentu, biasanya seorang yang buta huruf berpegang kepada orang yang
hafal dan mengingatnya. Karena dia tidak bisa membaca atau menulis, maka bangsa
Arab pada masa turunnya Al-Qur’an bangga dengan sifat kekhususannya, yaitu
memiliki daya ingat yang kuat serta cepat menghafal,bahkan hatinya begitu
terbuka.
b.
Kodifikasi
Al-Qur’an pada tulisan
Keistimewaan
kedua untuk Al-Qur’an ini adalah Kodifikasi dan penulisannya pada
lembaran-lembaran. Rasulullah Saw mempunyai beberapa penulis wahyu. Manakala
turun ayat, segera beliau perintahkan mereka untuk menulisnya, untuk lebih
berhati-hati dalam pembukuan pengukuhan serta pemeliharaan terhadap kitab
Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa penulisan itu cocok dengan apa yang telah
ditanamkan Allah ke dada mereka. Para penulis adalah orang-orang pilihan
diantara sahabat. Rasulullah memilih mereka yang telah terbukti ketaqwaanya
demi usaha yang demikian penting dan agung.
Diantara
mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Muawiyah bin
Abi Sufyan dan Khulafaur Rasyidin, dan yang lain dari golongan sahabat. Setelah
wahyu turun lantas Nabi menyuruh mereka menuliskannya. Nabi sendiri yang
menunjukkannya kepada mereka untuk menempatkan surat-surat itu ditempatnya.
Tulisan itu jelas dalam bentuk huruf dan dikumpulkan berdasarkan hafalan.
Sebagaimana
diketahui, mula-mula ada diantara sahabat itu menuliskan Al-Qur’an hanya untuk
dirinya sendiri. Nabi menyuruh supaya ditulis dengan rapi dan dikumpulkan
sehingga merupakan sebuah kitab. Mereka itu menulisannya ada yang diatas
pelepah kurma, diatas batu, pelepah tamar, papan, potongan-potongan kulit,
diatas kayu yang diletakkan diatas punggung keledai dan diatas tulang-tulang.
Kata Zaid bin Tsabit, kami dimasa Rasulullah menuliskan Al-Qur’an itu diatas
kulit atau diatas daun. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya tugas yang dipikul
oleh sahabat Nabi dalam menuliskan Al-Qur’anulkarim. Karena pada waktu itu
orang tidak mudah mendapatkan alat-alat tulis menulis, kecuali dengan cara
beginilah tulisan itu melimpah pada hafalan.
2.
Perbedaan
antara mushhaf al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman
Setelah
Abu Bakar menduduki kursi khalifah, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka
Abu Bakar menghadapkan perhatiannya pada peristiwa-peristiwa besar pada masa
itu yaitu murtadnya sebagian orang Arab. Maka dia menyediakan pasukan-pasukan
untuk menghadapi orang-orang murtad ini. Peperangan yang dilakukan terhadap
penduduk Yaman terjadi pada tahun ke 12 hijriah. Disini berkumpul sejumlah
besar sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Dalam peperangan ini syahid 70 orang
sahabat yang qari’ Al-Qur’an. Melihat hal yang demikian ini maka Umar bin
Khattab merasa khawatir. Dia datang kepada Abu Bakar membicarakan agar supaya
Al-Qur’an ini dikumpulkan dan ditulis, dikhawatirkan akan sia-sia. Karena
banyaknya ahli qira’at yang terbunuh dalam pertempuran di Yamamah tersebut,
maka hal ini dikhawatirkan. \
Setelah
itu Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit dalam masalah qira’at, menuliskannya,
memahami, dan memikirkannya. Al-Qur’an yang ditulis pada pelepah-pelepah tamar,
pada batu-batu dan tulang-tulang itu disalinnya kembali. Dan mushafnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Oleh Abu Bakar mushaf ini disimpannya, dan setelah
dia meninggal, maka mushaf ini dipindahkan kepada khalifah Umar. Disinilah
disimpan mushaf itu sampai Umar meninggal.(Quthan:143).
Terdapat
pula mushaf-mushaf pribadi dikalangan beberapa orang sahabat, seperti mushaf
Ali, mushaf Ubaiya, mushaf Ibnu Mas’ud. Mushaf ke empat orang ini tidak seperti
mushaf yang dikemukakan ini. Tidak dapat menyamainya, baik dari segi susunan,
maupun dari segi lainnya. Disinilah letak keistimewaan mushaf Abu Bakar.
Menurut pendapat sebagian ulama, Al-Qur’an itu juga dinamakan mushaf. Timbulnya
yaitu sejak Abu Bakar mengumpulkan mushaf itu. Kata Ali, orang yang paling
besar jasanya dalam mengumpulkan mushaf ialah Abu Bakar RA. Allah telah memberi
rahmat kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama kali mengumpulkan mushaf.
Kumpulannya ini dinamakan kumpulan kedua.(Quthan:145)
Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq:
Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq:
1.
Diperoleh
dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.
Yang
tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3.
Ijma’
umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah
ayat-ayat al-qur’an.
4.
Mushaf
mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar
shahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut
menimbulkan kekaguman dihati para sahabat terhadap usaha Abu Bakar dalam
memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan. Dan hal tersebut berkat taufiq
serta hidayah dari Allah SWT.(Ash-Shabuuniy:105)
3.
Kodifikasi
Al-Qur’an di masa Utsman bin Affan
Semakin
meluasnya penaklukan-penaklukan islam. Ahli-ahli qira’at terpencar-pencar di
daerah-daerah kerajaan islam. Ahli-ahli ilmu pengetahuan tiap-tiap daerah
kerajaan mengambil qira’at ini dari utusan-utusan yang dikirim ke daerah-daerah
mereka. Mereka hidup menurut kelompok atau daerah tempat tinggal mereka.
Sebagian dari bentuk perbedaan ini menakjubkan. Semua kelompok ini bersandarkan
kepada Rasulullah. Namun hal ini tidak akan merubah penulisan kitab yang menimbulkan
keragu-raguan yang belum terpikir oleh Rasulullah SAW. Berbicara tentang
perbedaan itu berjalan terus sampai kepada yang lebih bagus. Kebagusan ini
selalu ditingkatkan, malah sudah sampai melampaui batas dan perbuatan
dosa.(Quthan:146)
Di
waktu terjadi pertempuran sengit di Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak.
Dalam kedua pertempuran ini Huzaifah bin Al-Yamani memperhatikan banyak
terdapat banyak perbedaan pendapat dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada
yang salah bacaannya. Di samping itu tiap-tiap orang berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memperbaiki bacaan dan wakaf-wakafnya. Karena adanya
perbedaan itu, maka timbul kekhawatiran dikalangan para sahabat. Hal ini dengan
secara berangsur-angsur akan terjadi perubahan dan pertukaran letak. Karena itu
khalifah mengumpulkan orang dan memerintahkan kepada mereka untuk menyalin
mushaf pertama yang berada pada Abu Bakar kemudian mushaf itu diserahkan kepada
Utsman.
Kemudian
Utsman mengutus Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Sa’id ibnu Ash dan
Abdurrahman bin Al-Harist untuk menyalin mushaf-mushaf. Dan salinan itu oleh
Utsman dikirim keseluruh penjuru kerajaan islam pada waktu itu. Disini Utsman
memerintahkan tiap-tiap mushaf yang berbeda dari Al-Qur’an supaya
dibakar.(Quthan:146).
B.
Perbedaan
antara mushaf Abu Bakar dan mushaf Utsman
Perbedaan antara Kodifikasi (mushaf) Abu Bakar dan Usman adalah
sebagai berikut.Kodifikasi mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan
dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf dan ayat-ayatnya sudah
tersusun,berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu,
pelepah kurma dan kulit-kulit binatang.Adapun latar belakangnya karena
banyaknya huffaz yang gugur.Sedangkan Kodifikasi musahf pada masa Utsman adalah
menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar,dengan tujuan
untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam.Latar belakangnya adalah perbedaan
dalam hal membaca Al-Qur’an.(Ash-Shaabuuniy :110)
1. Terminologi Rasm al-Mushhaf
Rasm
berasal dari kata rasama, yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Dalam
ilmu al-Qur’an, yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an/al-Mushhaf tatacara
penulisan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Rasm
al-Mushhaf dilakukan oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdrrahman bin Harits. Panitia empat
yang dibebani tugas penulisan beberapa naskah al-Qur’an tersebut, menempuh cara
khusus yang direstui oleh khalifah, baik dalam hal penulisan lafadz-lafadznya
maupun bentuk huruf yang digunakannya. Banyak ulama yang mengaitkan tulisan
tersebut dengan khalifah yang memberi tugas sehingga menyebutnya sebagai Rasm
Utsmani (Shalih, 361).
Pola
penulisan rasm utsmani memiliki perbadaan dengan kaidah atau standar penulisan
bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Rasm Utsmani juga
berbeda dengan cara penulisan aruzh (ilmu untuk menimbang syair). Pola rasm
utsmani inilah yang kemudian dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan
mushhaf al-Qur’an.
2. Para Penulis Ayat al-Qur’an
Oleh
karena Nabi Muhammad saw itu seorang “ummi”, tidak bisa pandai membaca dan
menulis, maka sewaktu-waktu beliau pandai membaca tulisan dan menulis, maka
sewaktu-waktu beliau menerima wahyu al-Qur’an da telah dibacakan oleh malaikat Jibril,
lalu beliau menghafalkannya demgam sempurna. Kemudian beliau menyuruh para
sahabat yang telah ditetapkan atau diangkat menjadi penulis beliau untuk
menulis wahyu-wahyu itu.
Menurut
riwayat, paa penulis beliau waktu itu ada 26 orang, bahkan ada pula yang
meriwayatkan 42 orang. Adapun nama-nama mereka yang 26 adalah: 1. Abu Bakar
as-Shiddiq, 2. Umar bin al Khattab, 3. Utsman bin Affan, 4. Ali bin Abi Thalib,
5. Zubair bin Awwam, 6. Amir bin Fuhairah, 7. Abdullah bin Arqam, 8. Amr bin
‘Ash, 9. Ubayya bin Ka’ab, 10. Mughirah bin Syu’bah, 11. Handlalah bin ar
Rabi’, 12. Abdullah bin Ruwahah, 13. Khalid bin Walid, 14. Khalid bin Sa’id,
15. Al ‘Alla bin Hadhrami, 16. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, 17. Yazid bin Abi
Sufyan, 18. Muhannad bin Maslamah, 19. Abdullah bin Abdullah bin Ubayya, 20.
Mu’aiqib bin Abi Fthimah, 21. Hudzaifah bin Yaman, 22. Abdullah bin Abi Sarah,
23. Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, 24. Hashien bin Namier, 25. Tsabit bin Qais, dan
26. Zaid bin Tsabit.
Para
penulis al-Qur’an yang telah ditetapkan oleh Nabi saw itu, mereka menulisi
ayat-ayat al-Qur’an tidaklah dijadikan satu, tidak disatu tempat. Sebagian
menulisnya di pelapah-pelapah korma, sebagian di atas batu-batu putih yang
tipis, sebagian disobekan-sobekan kain dan lain sebagainya. Oleh masing-masing
penulis al-Qur’an, ditulisnya ayat-ayat itu dua buah, yang satu disampaikan
kepada Nabi dan yang satu disimpan untuk dirinya sendiri. Dan sebagian banysk
dari mereka itu setelah menulisnya lalu menghafalkannya sampai lancar di luar
kepala.
C.
Latar
Belakang Khalifah untuk menghimpun dan membukukan al-Qur’an
Diriwayatkan
bahwa dikala Abu Bakar as-Shiddiq menjabat khalifah, dengan sekonyong-konyong
ada suatu peristiwa yang seakan-akan mendorong kepada beliau, agar ayat-ayat
dan surat-surat al-Qur’an yang masih berserak-serak itu dihimpun dan
dikumpulkan menjadi sebuah buku. Peristiwa itu ialah terjadinyua peperangan di
Yamamah, peperangan antara kaum Muslimin yang tulen dan yang palsu (murtad).
Dalam peperangan ini banyak dari para sahaba yang meninggal dunia. Diriwayatkan
ada 70 orang yang wafat.
Sehubungan
dengan ini, Umar bin Khattab berfikir dan berpendapat bahwa : jika hal demikian
terjadi terus menerus, para sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang tewas
(syahid), mungkin nantinya menyebabkan fitnah yang besar bagi kaum Muslimin.
Maka seketika itu datanglah beliau kepada khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dengan
mengemukakan usul bahwa hendaknya ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an segera
dihimpun, dikumpulkan menjadi satu. Usul sebaik itu disetujui oleh khalifah Abu
Bakar dan para sahabat besar yang lain pada waktu itu.
Persetujuan
bulat dari mereka itu ditambah pula dengan pembicaraan siapa-siapa yang akan
diserahi tugas yang maha berat ini. Akhirnya mereka serentak memutuskan Zaid
bin Tsabit, salah seorang penulis al-Qur’an yang kenamaan. Kemudian
dipanggillah Zaid bin Tsabit dan Khalifah berkata kepadanya : “Hai Zaid, engkau
seorang pemuda yang berakal serta cerdas. Kami tidak akan menaruh dugaan yang
baik kepadamu. Dari dahulu engkaulah seorang penulis wahyu yang senantiasa
menuliskan wahyu untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu kini hendaklah
tulisan-tulisan itu engkau kutip semuanya dan himpunlah menjadi satu !”. Kata
Zaid bin Tsabit : “ Sesungguhnya demi Allah, jika sekiranya mereka menyuruhku
supaya aku memindahkan satu gunung itu lebih ringan bagiku daripada
menghimpunkan al-Qur’an yang disuruhkan mereka itu atas diriku”. Selanjutnya ia
berkata : “Bagaimana aku diperintah mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw?”. Kata Abu Bakar : “ Demi Allah itu
pekerjaan yang baik dan utama”.
Demikianlah
selanjutnya hingga Abu Bakar berulang kali memerintahkan Zaid supaya
mengerjakan pekerjaan yang baik dan utama itu, sehingga terbukalah hati Zaid
untuk mengerjakan perintah menghimpun dan mengumpulkan al-Qur’an dari
catatan-catatan yang ada di pelapah-pelapah korma, dari batu-batu dan dari
dada-dada pada orang yang yang hafal al-Qur’an. Kemudian setelah selesai
al-Qur’an dihimpun menjadi satu naskah, lalu diserahkan kepada Abu Bakar, dan
oleh beliau lalu disimpan baik-baik sampai datang hari wafatnya.
Kemudian
sepeninggal Abu Bakar, naskah al-Qur’an itu berpindah ke tangan Umar bin
Khattab selaku khalifah ke II, dan sepeninggal beliau ini, lalu disimpan oleh
salah seorang putrinya, ialah Siti Hafshah bekas istri Nabi saw. Demikianlah singkatnya riwayat al-Qur’an
ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah, dan itulah permulaan
al-Qur’an dihimpun menjadi sebuah buku. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke XI
dari hijriah.
D.
Perkembangan
Penulisan al-Qur’an
Penyempurnaan penulisan al-Qur’an terus berlangsung setelah
penulisan pada masa khalifah Utsman. Mushhaf Utsmani tidak dilengkapi dengan
tanda-tanda baca seperti mushhaf yang dikenal sekarang ini. Belum ada tanda
berupa titik untuk membedakan antara huruf yang mirip. Sebab, para sahabat yang
juga mengandalkan hafalan tidak menemui kesulitan dalam membaca mushhaf pada
masa itu. Kesulitan baru dialami setelah dunia Islam meluas dan banyak orang
non Arab masuk Islam.
Ketika Ziyad bin Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa
Mu’awiyyah bin Sufyan (661-680 M) –riwayat lain menyebutkan pada masa Ali bin
Abi Thalib –ia memerintahkan kepada Abu al-Aswad al- Duwaliuntuk membuat
tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an
bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an. Pada awalnya ia menolak, namun
setelah ia mendengar sendiri kesalahan bacaan yang fatal, ia bersedia dan
bahkan menawarkan sendiri untuk meletakkan tanda-tanda bacaan tersebut. Al-Duwali
memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf ,
tanda baris bawah (kasrah) berupa sebuah titik di bawah baris, tanda dhammah
berupa waw kecil diantara dua huruf, dan konsonan mati tanpa menggunakan tanda
apa-apa.
Pada perkembangan selanjutnya, khalifah Abdul Malik bin Marwan
(685-705 M) memerintahkan Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan
tanda-tanda huruf al-Qur’an. Ia mendelegasikan tugas itu kepada Yahya bin
Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali. Kedua oaring inilah yang
membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang memiliki kemiripan, misalnya
penambahan titik diatas huruf dal sehingga menjadi huruf dzal. Penambahan titik
yang bervariasi pada huruf dasar (ب) sehingga menjadi ba’,
ta’, dan tsa’, huruf dasar (ح) menjadi jim, ha’, kha’. Ra’ dibedakan
dengan zay, sin dibedakan dengan syin, shad dibedakan dengan zhat, tha’
dibedakan dengan dla’, ‘ain dibedakan dengan ghain, dan fa’ dibedakan dengan
qaf.
Dalam perkembangan berikutnya, pemberian tanda nomor ayat, kode
sepuluh ayat, tanda awal surat, keterangan Makkiyah dan Madaniyah, serta
pengelompokan menjadi 30 juz, dilakukan sebagai jawaban terhadap kebutuhan Umat
Islam. Sekalipun pada awalnya dianggap sebagai bid’ah dhalalah –terutama bagi
yang berpendapat bahwa penulisan al-Qur’an bersifat tawqifi, penambahan ini
akhirnya diterima sebagai sesuatu yang mubah.
IV.
SIMPULAN
Al-Qur’an
diturunkan selama dua tahun lebih , proses penurunannya terkadang hanya turun
satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Tulisan-tulisan Al-qur’an
pada maa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Susunan penulisan Al-Qur’an
pun tidak menurut susunan nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun ditulis di
tempat penulisan yang sesuai dengan petunjuk Nabi. Nabi tidak mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf karena ia senantisa menunggu ayat nasikh terhadap
sebagian hukum-hukum atau bacaannya.
Pada
masa Nabi Al-Qur’an masih berserakan pada kulit, tulang dan pelepah kurma,
dengan demikian, abu bakar memerintahkan agar dikumpulkan dalam satu mushaf,
dengan ayat-ayat dan ,surat-suratyang tersusun serta ditulis dengan sangat
berhati-hati dan mencangkup tujuh huruf yang dengan itu Al-Qu’an diturunkan.
Setelah itu Usman juga mengumpulkan Al-Qur’an ,dengan cara menyalin dalam satu
huruf diantara tujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin.
Kodifikasi
al-Qur’an pada masa Abu Bakar merupakan bentuk pemindahan dari pelepah-pelepah
kurma, kepingan-kepingan batu, dan kulit-kulit binatang yang ditulis menjadi
satu mushaf dengan ayat-ayat yang sudah tersusun. Dikumpulkannya al-Qur’an pada
masa ini karena banyak para huffadz yang gugur dalam peperangan.
Sedangkan
pada masa Utsman merupakan bentuk penyalinan dari mushaf yang telah ada pada
masa Abu Bakar dan dikirim ke Negara-negara Islam. Disalinnya karena banyak
perbedaan dalam membaca al-Qur’an. Penyempurnaan al-Qur’an terus berlangsung
setelah penulisan al-Qur’an pada masa Utsman diantaranya penambahan-penambahan
harakat (fathah, kasrah, dhammah) oleh al Duwali serta pembubuhan titik pada
huruf al-Qur’an yang memiliki kemiripan bentuk oleh Yahya bin Ma’mur dan Nashr
bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali.
V.
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shaabuuniy,
1998, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung : CV PUSTAKA SETIA
Baidan, Nashruddin: 2003, Perkembangan Tafsir Al
Qur'an di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai.
Baltaji, Muhammad: 2005, Metodologi Ijtihad Umar
bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc), Jakarta: Khalifa.
Departemen Agama: 1971, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta: PT. Bumi Restu.
Dkk,
Saifullah. 2004. “Ulumul Qur’an”. Ponorogo: Prodial Pratama Sejati (PPS) Press
Jalan Betoro Katong
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus: 1989 M, Al-Qur'an,
Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Penerbit Pustaka.
Ichwan, Muhammad Nor: 2001, Memasuki Dunia
Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya.
Moenawar
Kholil, K.H. 1994. “al-Qur’an Dari Masa ke Masa”. Solo: Ramadlani
Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, Syaikh,. “Ushûl
Fi at-Tafsîr,”
Qardawi, Yusuf: 2003, Bagaimana Berinteraksi
dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Quthan
Mana’ul, 1996, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Bandung : PT RINEKA CITRA
Shihab, Muhammad
Quraish: 1993, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan
No comments:
Post a Comment