Oleh : Abdul Halim
Wacana ini akan menyoroti tentang fenomena pemilihan
seorang pemimpin di sekitar kita baik itu Desa, Kecamatan, Kabupaten, hingga
aparatur pemerintah yang sekelas DPR, MPR, dan menteri, serta civitas akademika
dunia kampus terutama untuk BEM baik fakultas atau universitas dan khusus untuk
ketua mahasiswa angkatan di suatu fakultas.
Kita semua sebagai bangsa indonesi mengharapkan seorang
pemimpin yang benar –benar mampu untuk memberikan kontribusi yang baik bagi
ikita semua bangsa Indonesia .
Namun itu semua pupus ketika ada sebuah pemilihan kepemimpinan dalam birokrat
yang dibumbui dengan apa yang namanya, nipotisme.
Nipotisme di negeri kita memang tidak dapat di pungkiri
dan ditepis oleh siapapun, semua itu telah ada sejak dahulu. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang diciptakan oleh tuhan dengan segala kelebihannya
dibanding makhluk lain, baik dari fisik maupun spirit, jasmani maupun rohani.
Manusi diberi petunjuk oleh tuhan berupa petunjuk indra, intuisi, akal, dan
agama (Amin Syukur : 1991). Petunujuk-petunjuk itu harus kita manfatkan dan
kita gunakan semaksimal mungkin demi kemaslahatan manusia. Sebagaimana dalam
pemilihan seorang pemimpin bagi diri kita harus berdasarkan atas segala
petunjuk yang telah diberikan Tuhan bagi kita. Dan kita lebih mengedepankan
atas kebenaran seperti kebenaran indrawi
(sensible truth), kebenaran ilmu (intelligible truth), dan kebenaran filsafat
(philosophical truth) kebenaran yang diperoleh dari pemikiran atas apa yang ada
“ (being) “ dan “mungkin ada” secara mendasar (seakar-akarnya), obyektif dan
universal.
Kaitannya yang telah saya jelaskan tadi, maka kita harus
memilih seorang pemimpin berdasarkan kapabilitas dan intelektual mereka
masing-masing. Bukan malah memilih mereka karena mungkin saudara, kolega,
partner, dan sebagainya. Sebagaimana pemiliha kepala desa, jika yang
mencalonkan diri adalah saudara atau mungkin teman kita, maka akan dipilih
tanpa melihat sejauh mana kemampuan mereka untuk membawa desanya lebih maju.
Karena dipilih atas dasar Nipotisme, maka dalam memimpin juga nipotisme yaitu
lebih mengutamakan saudara-saudaranya untuk menjadi orang penting di desa tanpa
melihat orang lain, padahal mereka lebih mampu dan berpotensi. Karena dirasa
lebih menguntungkan dalam melaksanakan keotoriter kepemimpinannya. Dan sikap
itu naik sampai pada jabatan Bupati.
Sebagaimana pemilihan jabatan menteri sebagai pembantu
presiden, banyak dibumbui unsur nipotisme. Kita lihat saja usulan
jabatan-jabatan menteri yang nantinya membantu tugas presiden sebagai kepala
negara Republik Indonesia
periode 2009-2014, banyak dari mereka adalah kolega-kolega dari SBY. Dan pada
dasarnya mereka belum tentu memenuhi dan mumpuni untuk menduduki jabatan
menteri itu.
No comments:
Post a Comment