Televisi, berdasarkan UU Pers no.40, 1999 dan UU Penyiaran no.32,
2002 selain berkedudukan sebagai lembaga masyarakat, melekat pula fungsi
sebagai lembaga ekonomi. Fungsi ekonomi inilah (terutama oleh Televisi Swasta)
yang dimanfaatkan secara maksimal, terutama di era kebebasan saat ini. Sepintas
tak ada yang salah dari apa yang rata-rata mereka lakukan. Dalih adalah
memberikan pelayanan maksimal kepada pemirsa. Mereka selalu memanfatakan setiap
momentum untuk (seolah) memberikan pelayanan maksimal kepada pemirsa, meski
dibalik itu motif ekonomilah yang sebenarnya ada dibalik produksi siaran yang
mereka sajikan.
Tak luput pula setiap tahun moment bulan puasa, ketika mayoritas
masyarakat Indonesia
yang beragama Islam sedang melaksanakan ibadah, mereka maksimalkan berbagai
siaran atau sajian yang bernuansa ramadhan. Motto ; Berikan pemirsa apa yang
mereka inginkan. Tampaknya para pengelola televisi swasta hanya mengambil
sepotong apa yang dikatakan Reith (dalam Media Culture,1992) memberi publik apa
yang pengelola pikir mereka butuhkan dengan mengabaikan bahwa sesungguhnya apa
yang dimaksud Reith sebagai apa yang sesungguhnya mereka butuhkan, sehingga ada
nuansa aspek kemanfaatan bagi pemirsa.
Kedatangan bulan Ramadhan selalu memberi kita pemandangan tersendiri
di televisi. Sinetron-sinetron yang biasanya berlimpah kata-kata makian yang
kasar, bahasa tubuh yang menyebalkan, dan dialog yang melambangkan kecintaan
yang besar terhadap materi, kini berubah wujud. Para
tokoh yang mendadak berkerudung dan berpeci, dan mulai menyadari bahwa hidup di
dunia ini hanya sementara, alias mung
mampir ngombe. Dalam beberapa adegan terlihat lucu karena mereka
menggunakan kerudung atau peci bahkan ketika mereka hanya leyeh-leyeh di dalam rumah. Rasanya kita sendiri juga tidak
begitu-begitu amat dalam “ merayakan “ bulan suci. Bukankah semangat tidak
harus diwujudkan hanya dengan atribut fisik?
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa praktikan sinetron itu
semata-mata memanfaatkan momentum yang ada. Karena bulan puasa identik dengan
kesabaran, maka jalan ceritapun dibelokkan sedemikian rupa sehingga pas dengan
semangat ramadhan. Hingga terkadang dialognya bernafas islami dan diselingi
lantunan ayat-ayat suci alqur’an. Hebat betul. Semuanya atas nama Ramadhan.
Tampaknya kita sebagai penonton sekaligus umat beragama, harus merelakan bulan
ini dieksploitasi habis-habisan oleh para praktikan sinetron. Suka tidak
suka,mau tidak mau,pasti terjadi. Kita terpaksa bulan Ramadhan hanya sebagai salah
satu momentum dalam kehidupan.
Masalahnya, bisakah kita memandang sinetron yang mendadak religius
itu sebagai medium dakwah? Rasanya kok susah. Untuk bisa dikatakan sebagai
medium dakwah, sebuah sinema elektronik harus memiliki konsistensi dalam menawarkan
wacana-wacana keimanan, jika perlu dengan cara-cara yang kreatif dan berbeda.
Tidak mendadak dan musiman seperti yang terjadi sekarang. Sebagai praktikan
pertelevisian diharapkan mampu menjadikan sinetronnya benar-benar sebagai
medium dakwah, dengan cara konsistensinya dan mempertontonkan suatu pembicaran
yang syarat filsafat,dengan mengemasnya melalui tahap anlogi dengan hal-hal
yang remeh dalam kehidupan sehari-hari.
Jelas bahwa menjadikan sinetron sebagai medium dakwah tidak bisa
dilakukan dengan hanya menyelipkan potongan-potongan ayat kitab suci yang
seringkali terasa numpang lewat tanpa konteks. Sebab jika hanya itu yang
dilakukan, apa boleh buat, harus dikatakan bahwa sinetron para praktikan
pertelevisian kita hanya memanfaatkan momentum belaka. Kita berharap para
parktikan televisi sadar agar lebih mengedepankan aspek kemanfatan bagi
pemirsa, dan tidak hanya menginginkan keuntungan semata. Kedepan, kita tentu
berharap para pengelola televisi agar makin mampu memaksimalkan situasi
simbiosis mutual bernuansa Ramdhan secara maksimal. Melalui cara itulah para
pengelola akan berkontribusi konkret dan amanah, sekaligus memperoleh
keuntungan financial untuk mengembangkan stasiun televisi yang dikelola.
No comments:
Post a Comment