BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah telah mengungkapkan
bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa
Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin
baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Sebagai
negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki
konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan dan
perkembangan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami
sejarah yang sangat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum
bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Bahwasanya Pancasila yang
telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan
pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya,
sehingga tak ada satu
kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia.
Menyadari bahwa untuk
kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara
nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara
negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di
pusat maupun di daerah.
B.
Batasan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam
penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan
dibahas yaitu:
1.
Bagaimana proses terbentuknya Pancasila?
2.
Apa hakikat dan fungsi Pancasila?
3.
Apa saja nilai kehidupan yang ada dalam Pancasila?
4.
Bagaimana hakikat Konstitusi?
5.
Bagaimana proses terbentuknya konstitusi di Indonesia?
6.
Bagaimana analisis hakikat UUD 1945 dan perubahannya?
7.
Bagaimana hirarki perundang-undangan di Indonesia?
BAB II
PANCASILA DASAR
NEGARA
A. Proses Terbentuknya Pancasila
Pancasila artinya lima dasar
atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara Republik
Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV
yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma
karangan Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu
sendi yang lima” (dari bahasa Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti
“Pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras / obat-obatan
terlarang
Tiga setengah abad lebih, bangsa kita dijajah
bangsa asing. Tahun 1511 Bangsa Portugis
merebut Malaka dan disusul Spanyol dan Inggris yang juga berdalih mencari
rempah-rempah di bumi Nusantara.
Kemudian Tahun 1596 Bangsa Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan
VOC.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942,
tepatnya tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang.
Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia, sebab tahun 1944, tentara
Jepang mulai kalah melawan tentara Sekutu.
Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar
bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji
kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri
Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka
pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada
bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam
Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di
Jawa dan Madura) Dalam maklumat tersebut sekaligus dimuat dasar pembentukan
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas
badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya
dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi
kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei
1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945. Dalam
sidang pertama tersebut yang dibicarakan khusus mengenai dasar negara untuk
Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama tersebut 2 (dua) Tokoh membahas
dan mengusulkan dasar negara yaitu Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno.
Tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengajukan usul
mengenai calon dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu: Peri
Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Peri
Ketuhanan, Peri
Kerakyatan, dan Kesejahteraan
Rakyat.
Selain secara lisan M. Yamin juga mengajukan usul
secara tertulis yaitu : Ketuhanan
Yang Maha Esa, Persatuan
Indonesia, Rasa
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno
(Bung Karno) mengajukan usul mengenai calon dasar negara yaitu: Nasionalisme
(Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme
(Perikemanusiaan), Mufakat
atau Demokrasi, Kesejahteraan
Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima
hal ini oleh Bung Karno diberi nama PANCASILA, lebih lanjut Bung Karno
mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1.
Sosio nasionalisme
2.
Sosio demokrasi
3.
Ketuhanan.
Selanjutnya
oleh Bung Karno tiga hal tersebut masih bisa diperas lagi menjadi Ekasila yaitu
GOTONG ROYONG.
Selesai sidang pembahasan Dasar Negara, maka
selanjutnya pada hari yang sama (1 Juni 1945) para anggota BPUPKI sepakat untuk
membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang
masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap
anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai
dengan tanggal 20 Juni 1945.
Adapun
anggota panitia kecil ini terdiri atas 8 orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Ki
Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasjim, Mr.
Muh. Yamin, M. Sutardjo Kartohadikusumo, Mr.
A.A. Maramis, R. Otto Iskandar Dinata dan Drs.
Muh. Hatta.
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat
gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di
Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujui dibentuknya sebuah Panitia
Kecil Penyelidik Usul - usul/ Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan
orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wachid
Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Ahmad
Subardjo dan Mr. Muh. Yamin. Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang
ini berhasil merumuskan Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian dikenal dengan
sebutan PIAGAM JAKARTA.
Dalam sidang BPUPKI kedua, Tanggal 10 s/d 16 Juli
1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Tanggal 9
Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dan pada
Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, sejak saat
itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan
mem-Proklamasi-kan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama :
1.
Mengesahkan Rancangan Hukum Dasar dengan
Preambulnya (Pembukaan)
2. Memilih
Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang
sangat panjang, sehingga sebelum mengesahkan Preambul, Drs. Muhammad Hatta
terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari,
sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur
yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada
alinea keempat preambul, di belakang kata KETUHANAN yang berbunyi 'dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dihapus. Jika
tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara
RI yang baru saja diproklamasikan.
Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang
pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada
Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Bung Hatta
berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh
karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat
Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan
dicoretnya 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'
di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan 'Yang Maha Esa'.[1]
B. Hakikat dan Fungsi Pancasila
Bicara tentang hakikat dan fungsi berarti membicarakan
tentang hal-hal yang hakiki atau mendasar dan juga tentang upaya memahami hakikat pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pancasila memiliki
keluasan arti filosofis, maka hakikat dan fungsi pancasila, antara lain
adalah sebagai berikut;
1.
Sebagai
dasar negara, Pancasila menjadi dasar/tumpuan dan tata cara penyelenggaraan
negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
2.
Sebagai
pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia
dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa
dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara
individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan
arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa
Indonesia.
3.
Sebagai
filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan
mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan
yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya
bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku
umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam setiap
sendi kehidupan dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
4.
Sebagai
ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia
Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta
pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia.
5.
Sebagai
kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi
bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri
sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang
khas Indonesia.
6.
Sebagai
sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi
dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan,
undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya
(sekaligus pengamanan) Pancasila.
7.
Sebagai
tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila
itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan
nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
8.
Sebagai
perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia
sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang
harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada
generasi penerus adalah kewajiban moralseluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti
mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat
dan harkat diri kita sebagai manusia.[2]
C. Nilai Kehidupan Yang Ada Dalam Pancasila
Nilai kehidupan yang ada dalam pancasila terlihat dalam setiap
nilai yang terkandung dalam tiap sila pancasila. Secara singkat nilai-nilai
kehidupan yang ada dalam pancasila yaitu:[3]
1.
Sila ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya
manusia percaya dan taqwa terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. maka Negara Indonesia memberikan
jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Dengan kata lain di dalam Negara Indonesia tidak ada dan
tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (atheisme).
2. Sila kemanusian Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjang tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan
berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat,
maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia,
karena itu dikembangkanlah sikap hormat dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa
lain. Jadi kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan
perbuatan manusia didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan
dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik terhadap diri pribadi, sesama
manusia maupun terhadap alam dan hewan
3. Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila persatuan Indonesia, manusia Indonesia
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar
Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan
bangsa. Jadi Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami
wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia ini bersatu karena
didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Manusia Indonesia menghayati
dan menjungjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua
pihak yang bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad
baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan
akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang
diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.
Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan
diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayanya. Jadi
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti, bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya
melalui sistem perwakilan dan keputusan-keputusannya diambil dengan jalan
musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab,
baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat dan wakilnya.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka
ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama,
menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang
lain. Jadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa
setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sesuai dengan UUD 1945 makna keadilan
sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur.
Sila “keadilan sosial” adalah tujuan dari empat sila yang mendahuluinya,
merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah
tata-masyarakat adil-makmur berdasarkan Pancasila.
BAB III
KONSTITUSI NEGARA
A. Hakikat Konstitusi
Konstitusi dapat diartikan sebagai sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi
Negara dan susunan pemerintahan suatu Negara.[4] A.V Dicey membedakan
antara ketentuan konstitusi yang mempunyai sifat hukum dan tidak mempunyai
sifat hukum. Pembedaan ini didasarkan pada kriteria apakah pengadilan berwenang
memaksakan penataanya dan/atau mengambil tindakan hukum bagi yang tidak taat.[5]
Dilihat dari wujudnya, konstitusi dapat dibedakan antara konstitusi
tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis dapat dibedakan
antara yang tertulis dalam satu dokumen khusus atau dalam beberapa dokumen yang saling terkait satu sama lain dan yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan lain. Konstitusi tertulis yang tersusun dalam satu
dokumen khusus misalnya UUD 1945, atau UUD Amerika Serikat 1787. Sedangkan konstitusi tertulis yang terdapat dalam beberapa dokumen misalnya Undang-Undang (UU), atau di Inggris kaidah-kaidah Konstitusi tertulisnya, terdapat
dalam undang-undang biasa (ordinary law atau statuate). Sedangkan
Konstitusi tidak tertulis dapat dibedakan dalam tiga golongan. Pertama,
ketentuan konstitusi terdapat dalam kaidah-kaidah hukum adat sebagai
jukum yang tidak tertulis. Kedua, ketentuan-ketentuan konstitusi yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan
ketatanegaraan. Ketentuan untuk taat pada konvensi didasarkan kepada
pertimbangan-pertimbangan
politik dan moral. Ketiga, adalah ketentuan adat istiadat.[6]
Sedangkan menurut sifatnya Kostitusi dapat klasifikasikan menjadi dua,
yaitu Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku. Yang dimaksud konstitusi
fleksibel adalah konstitusi yang dapat dirubah tanpa prosedur khusus, dan
sebaliknya konstitusi kaku adalah konstitusi yang mensyaratkan prosedur
khusus untuk merubahnya.[7]
Negra-negara yang menganut sistem Konstitusi fleksibel diantaranya adalah
Inggris (UK) dan Selandia Baru, jadi didalam Negara Inggris untuk mengubah
konsitusinya tanpa harus menunggu krisis hebat dan perkembangannya tanpa banyak
kekerasan sehingga memungkinkan untuk membentuk dirinya sendiri sesuai
kebutuhan dari masyarakat Inggris (UK).[8] Hal ini berbeda
dengan Negara-negara yang menggunakan sistim Konstitusi kaku seperti di Negara Indonesia, di Negara Indonesia untuk dapat mengubah UUD
1945 ( konstitusi ) dibutuhkan prosedur-prosedur khusus sesuai dengan yang
tercantum dalam pasal 37 UUD “45 yaitu:
1. Usul perubahan
pasal-pasal undang-undang dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul
perubahan pasal-pasal undang-undang
dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk dirubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah
pasal-pasal undang-undang
dasar sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggoa Majelis Permusyawaratan
Rakyat
4. Putusan mengubah pasal undang-undang
dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari MPR.[9]
Fungsi
Konstitusi
Konstitusi
atau UUD adalah hukum dasar yang tertulis. Hal itu mengandung pengertian
sebagai berikut.
a.
Sebagai
hukum, UUD bersifat mengikat, baik bagi pemerintah, setiap lembaga negara,
lembaga masyarakat, maupun setiap warga negaranya.
b.
Selaku
hukum, UUD berisi norma-norma, kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau ketentuan
yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh semua pihak yang terikat dalam negara
tersebut.
c.
Selaku
hukum dasar, UUD berfungsi sebagai sumber hukum. Setiap produk hukum seperti
UU, Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Pengganti UU (Perpu), serta setiap
tindakan pemerintah dengan berbagai kebijakannya harus berdasarkan pada
peraturan yang tertinggi, yaitu UUD.
Mengingat
fungsinya seperti di atas, UUD dalam rangka tata urutan norma hukum yang
berlaku merupakan hukum yang tertinggi. Karena fungsinya seperti itu, UUD juga
mengemban fungsi sebagai alat kontrol, papan uji, atau alat untuk mengecek
terhadap kesesuaian seluruh norma hukum yang berada dibawahnya.
Bagi
suatu negara, konstitusi merupakan patokan dasar guna mengatur negara dan
pemerintahan. Pada hakikatnya, konstitusi merupakan bentuk kontrak sosial yang
dibuat dan disepakati oleh rakyat melalui para wakilnya.
B. Proses Terbentuknya Konstitusi di Indonesia
UUD ‘45 dirancang sejak 29 mei 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI ) yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat. Tugas
utamanya adalah menyusun rancangan Undang-Undang sebagai salah satu persiapan untuk membentuk negara yang merdeka, namun anggota lembaga ini sibuk
mengusung ideologinya masing-masing ketika membicarakan masalah ideologi negara. Akibatnya,
pembahasan tentang rancangan UUD menjadi terbengkalai. Maka BPUPKI dalam sidang
pertamanya membentuk panitia kecil untuk merumuskan UUD yang diberi nama Panitia Sembilan.[10] Dan pada tanggal 22 juni
1945 panitia sembilan ini berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah
naskah mukhodimah UUD yang kemudian diterima dalam sidang II BPUPKI tanggal 11
Juli 1945.
Setelah itu Ir. Soekarno membentuk panitia kecil pada tanggal 16 juli 1945
yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas menyusun rancangan UUD dan membentuk
panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang.
Sehingga UUD atau konstitusi Negara Indonesia ditetapkan oleh PPKI pada hari
sabtu tanggal 18 Agustus 1945, dan pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Dengan demikian sejak itu
Indonesia telah menjadi suatu Negara modern karena telah memiliki suatu sistem ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945.[11]
C. Analisis Hakikat UUD 1945 dan Perubahannya
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia,
Konstitusi atau Undang-Undang
Dasar 1945 yang berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya sejak
diproklamirkannya kemerdekaan negara Indonesia, yakni sebagai berikut:
1.
Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945- 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya
karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945
memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum
terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel
(“Semi-Parlementer”) yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan
sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
2.
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)
Pada
masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan
dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari
negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan
sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Namun karena tidak sesuai dengan
jati diri bangsa serta mencuat isu disintegrasi, maka kemudian Indonesia
berganti bentuk lagi menjadi Negara kesatuan Republik.
3.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Perubahan bentuk Negara secara otomatis juga membuat perubahan dalam
konstitusinya. Mulai Pada tanggal 17 Agustus 1950 Konstitusi Indonesia berubah
menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia. Pada periode UUDS 50 ini
diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya
pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan
kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan
sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun,
maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal
tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya
Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta
berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
4.
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959-1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah
satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1.
Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua
DPA menjadi Menteri Negara.
2.
MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
3.
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia.
5.
Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD
1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata
menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni, terutama pelanggaran pasal
23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public
debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan
hutan dan sumber alam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”,
diantaranya melalui sejumlah peraturan:
o
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan
terhadapnya.
o
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain
menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus
minta pendapat rakyat melalui referendum.
o
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan
pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.[12]
6.
Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto
digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari
NKRI.
7.
Periode Pasca Reformasi (Amandemen)
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari
gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun
1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab
otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena
kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan
konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan
dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada
awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju
Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan.
Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu
dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan
perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan
tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
1.
Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
2.
Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.
Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil),
4.
Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD
1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945, dan
5.
Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD
1945.
Amandemen
berarti perubahan atau mengubah (to amend). Tujuannya untuk memperkuat
fungsi dan posisi UUD 1945 dengan mengakomodasikan aspirasi politik yang berkembang untuk mencapai tujuan
negara seperti halnya yang dirumuskan oleh konstitusi itu sendiri. Cara
melakukan amandemen setiap konstitusi dan praktisi implementasinya memiliki
cara tersendiri yang telah diatur.
Dalam
UUD 1945, Pasal 37 yang diberi wewenang untuk melakukannya adalah MPR.
Amandemen UUD 1945 tersebut dilakukan pada saat berlangsungnya Sidang Umum MPR.
Amandemen dimaksudkan supaya UUD 1945 disempurnakan sesuai dengan perkembangan
dan dinamika tuntutan masyarakat.[13]
UUD
1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia sampai sekarang ini telah
mengalami empat kali
amandemen (perubahan) yang terjadi di era reformasi. Keempat amandemen tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Amandemen
pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR
1999 dan disahkan 19 Oktober 1999.
Perubahan
I UUD 1945 terdiri dari 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum inti
Perubahan I UUD 1945 menyoroti perihal kekuasaan Presiden (eksekutif).[14]
Dalam
perubahan ini terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk
undang-undang, yang diatur dalam Pasal 5: ”Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”, berubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang dialihkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 yang berbunyai: ”Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”, perubahan pasal
ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di
tangan Presiden, beralih ke tangan DPR.[15]
2.
Amandemen
kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2000 dan disahkan 18 Agustus 2000.
Perubahan
terdiri dari 5 bab dan 25 pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19
Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B; Bab IXA: Pasal 25E, Bab X, Pasal 26,
Pasal 27, Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal
28F, asal 28G, Pasal 28H,
Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, DAN
pasal 36C.[16] Inti dari amandemen kedua ini adalah
Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia,
Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
Khusus
mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada perubahan dan kemajuan signifikan yaitu
dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah BAB tersendiri,
yakni BAB XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai dengan 28J. Dapat
dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses
dialektika yang seruis dan panjang yang mengambarkan komitmen atas upaya
penegakan hukum dan HAM.[17]
3.
Amandemen
ketiga dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan disahkan 10 November 2001.
Perubahan
yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 3, Pasal
6, Pasal 6A, Pasal7A, Pasal 7B, Pasal 7C, pasal 8, Pasal 11, Pasal 17; Bab
VIIIA: Pasal 22C, Pasal 22D; Bab VIIB: Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal
23C, Bab VIIIA: Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G; Pasal 24, Pasal 24A,Pasal 24B,
Pasal 24B, Pasal 24C.[18] Inti perubahan yang dilakukan pada
amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR,
Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman
4.
Amandemen
keempat dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2002 disahkan 10 Agustus 2002.
Beberapa
perubahan terdiri atas 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A, pasal 8,
Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab
XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37.[19] Inti Perubahan: DPD sebagai bagian
MPR, penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata
uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
Amandemen
UUD 1945 telah memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam UUD 1945. Perbaikan dan
perubahan yang dimaksud antara lain:
1.
Adanya
pembatasan atas kekuasaan presiden di Indonesia;
2.
Memperkuat
dan menegaskan kembali peran kekuasaan legislatif di Indonesia;
3.
Mencantumkan
hak asasi manusia Indonesia;
4.
Menegaskan
kembali hak dan kewajiban negara ataupun warga negara;
5.
Otonomi
daerah dan hak-hak rakyat di daerah ;
6.
Pembaharuan
lembaga negara sehingga tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi negara dan
lembaga tinggi negara.
Amandemen
konstitusi dimaksudkan agar negara Indonesia benar-benar merupakan pemerintahan
yang konstitusional (constitutional government). Pemerintah
konstitusional tidak hanya pemerintahan itu berdasarkan pada sebuah konstitusi,
tetapi konstitusi negara itu harus berisi adanya pembatasan kekuasaan dan
jaminan hak-hak warga negara.[20]
Wheare
mengatakan perubahan cukup dengan “The ordinat legislatif process”, seperti di
New Zealand. Sedangkan konstitusi yang tergolong rigrid, menurut Sri Soematri
berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka cara perubahannya dapat
digolongkan sebagai berikut:
1.
Oleh
kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;
2.
Oleh
rakyat melalui satu referendum;
3.
Oleh
sejumlah negara bagian khusus untuk negara serikat;
4.
Dengan
kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh satu lembaga negara yang khusus yang
dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Dalam
salah satu karangan Ismail Suny mengemukakan bahwa proses perubahan konstitusi
dapat terjadi dengan berbagai cara karena:
1.
Perubahan
resmi,
2.
Penafiran
hakim,
3.
Kebiasaan
ketatanegaraan/konvensi.[21]
Tujuan
perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk:
1.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai tatanan negara dan mencapai tujuan nasional yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila;
2.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta
memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
3.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia agar sesuai dengan
perkembangan paham hak asasi manusia dalam peradaban umat manusia yang
sekaligus merupakan syarat bagi satu negara hukum dicita-citakan oleh UUD 1945;
4.
Menyempurnakan
aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain
dengan lembaga kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, serta
pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru dan mengakomodasi perkembangan
kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;
5.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara yang
mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan
etik, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan
mewujudkan negara sejahtera;
6.
Melengkapi
aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi
negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah
negara dan pemilihan umum;
7.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan
perkembangan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia
dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan
datang.[22]
D. Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia
Adapun
tata urutan perundangan menurut UUD 1945 di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Bentuk
peraturan perundangan
o
UUD
1945
o
TAP
MPR
o
UU
dan Peraturan Pemerintah Pengganti
o
UU
dan PERPU
o
PP
o
KEPRES
o
Peraturan
pelaksana yang lebih rendah
2.
Ditinjau
dari sistem konstitusi maka UUD 1945 merupakan bentuk peraturan yang lebih
tinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi peraturan perundangan yang lebih
rendah.
3.
Ditinjau
dari prinsip negara hukum maka setiap peraturan perundangan harus berdasar dan
bersumber dengan tegas pada peraturan yang berlaku yang lebih tinggi
tinkatannya
4.
UUD,
ketentuan dalam pasal UUD adalah ketentuan yang tertinggi tingkatannya, dan
dilaksanakan dengan:
o
Ketetapan
MPR
o
UU
o
Kepres
5.
Ketetapan
MPR dibidang:
o
Legislatif
dilaksanakan dengan UU
o
Eksekutif
dilaksanakan dengan Kepres
6.
UU,
untuk melaksanakan UUD dan ketetapan MPR. PEPERPU dibuat dalam keadaan terpaksa
atau darurat
7.
Peraturan
Pemerintah memuat ketentuan umum untuk melaksanakan UU
8.
Keputusan
Presiden, keputusan yang bersifat khusus untuk melaksanakan ketentuan :
o
UUD
o
TAP
MPR dibidang eksekutif
o
Peraturan
Pemerintah
9.
Peraturan
lainnya yang lebih rendah
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara
Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan
negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan
Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan
kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang
menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
Sedangkan
konstitusi merupakan aturan dasar yang dibentuk untuk mengatur dasar hubungan
kerjasama antara negara dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konstitusi menimbulkan terciptanya pembatasan kekuasaan melalui pembagian
wewenang dan kekuasaan dalam menjalankan negara. Adanya konstitusi juga menjadi
suatu hal yang sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga negara,
sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari
pemerintah.
Perubahan
konstitusi merupakan keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena
bagaimanapun konstitusi haruslah sesuai dengan realitas kondisi bangsa dan
warga negaranya. Di Indonesia tingginya tingkat kesulitan untuk mengubah
Undang-Undang Dasar 1945 ini menyebabkan kesulitan dalam menambah aspek-aspek
yang diperlukan dalam suatu konstitusi.
B.
Penutup
Demikianlah makalah dari kami, sebagai rasa tanggung
jawab kami atas tugas yang telah diberikan kepada kami. Semoga dengan
penjelasan tentang pancasila dan konstitusi negara di atas dapat menambah
pengetahuan kami pribadi dan umumnya bagi para pembaca sekalian.
Dalam penulisan makalah ini kami juga menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran yang
konstruktif masih kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Pemakalah mohon
maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan baik dari segi penulisannya
maupun yang lain, semoga pemakalah yang lain bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wilujeng,
Sri. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga, 2007.
Prof.Drs.H.A.W.Wijdaja.Peoman
pelaksanaan pendidikan pancasila pada perguruan tinggi. Jakarta: PT Raja
Gravindo Persada, 1995
Pangeran Alhaj S.T.S Drs., Surya Partia Usman Drs. Materi
Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud, 1995.
Bagir Manan. Pertumbuhan
dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negar. Bandung: Mandar Maju, 1995.
A.V. Dicey, sn introduction to study of the Law of the constitution, London:
English language Book Society and mac millan, 10th. 1971
Khoirul Anam. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi. Yogyakarta: Inti Media, 2011.
C.F. Strong, konstitusi-konstitusi politik Modern studi
perbandingan tentang sejarah dan bentuk , cetakan III. Bandung: Nusa Media, 2010
Sri
Jutmini dan Winarto, Pendidikan
Kewarganwgaraan, Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2004.
El-Mumtaj. Majda, Hak
Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Ni’matul Huda., UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Al
Marsudi Subandi. Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Jimly, Asshidiqie. Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
A.G., Pringgodigdo. Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Bandung: Majalah Hukum dan Masyarakat, 1958.
[1] Wilujeng, Sri. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan.Erlangga:
Jakarta. hal. 4-10
[2]
Prof.Drs.H.A.W.Wijdaja.Peoman pelaksanaan pendidikan pancasila pada
perguruan tinggi.(jakarta:PT Raja Gravindo Persada 1995).h.173-174
[3] Pangeran Alhaj S.T.S Drs., Surya Partia Usman Drs.,
1995. Materi Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta; Universitas Terbuka
Depdikbud.
[4] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negar, Bandung: Mandar Maju, 1995. hal.
5
[5] A.V. Dicey, sn introduction to study of the Law of the
constitution, London: English language Book Society and mac millan, 10th.
1971 hlm 23-24.
[7] Khoirul Anam, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan
tinggi, Yogyakarta: Inti Media, 2011. hal. 136
[8] C.F. Strong, konstitusi-konstitusi politik Modern studi perbandingan
tentang sejarah dan bentuk , cetakan III, Bandung: Nusa Media,
2010. hal.192
[13] Sri
Jutmini dan Winarto, Pendidikan
Kewarganwgaraan, Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2004, hal.148
[14]
El-Mumtaj. Majda, Hak Asasi
Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 88
[15]
Ni’matul Huda., UUD 1945 dan
Gagasan Amandemen Ulang Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal.284
[16]
El-Mumtaj. Majda, Loc.
Cit.,
[17] bid., hal. 64-65
[18] Ibid.,hal.
89.
[19] Ibid.,
[20] Sri
Jutmini dan Winarto, Op. Cit,
hal. 151
[21] Ibid.,
[22]
Ni’matul Huda., Op. Cit,
hal.198-199
No comments:
Post a Comment