Oleh : Abdul Halim[2]
Sebelum
hadirnya agama-agama besar seperti Budha, Hindu, Islam atau sejak Zaman
Kapitayan, Pesantren sudah hadir dan menjadi bagian dari khazanah peradaban
Nusantara. Misi dan risalah Pesantren untuk memberikan muatan nilai spiritual
dan moral pada setiap perilaku masyarakat sehari-hari, baik dalam kegiatan
sosial, ekonomi maupun kenegaraan tidak pernah berubah, meski terjadi pertemuan
dengan agama-agama besar tersebut yang mengharuskan pesantren alami bperubahan
bentuk dan isi sesuai karakter tiap agama.
Pada masa Walisongo,
Pesantren yang semula bernuansa Hindu-Budha mulai mendapatkan nuansa Islam. Hal
ini sejalan dengan mulai tersebarnya agama baru ini. Diwilayah pesantren lah
agama diajarkan dengan secara mendalam serta luas bagi masyarakat. Berbagai
kitab diajarkan di pesantren saat ini, baik kurikulum, kitab dan metodenya
semua bersala dari generasi para wali dan kiai sesudahnya. Hal itulah yang turu
menyumbang atas dinamika dan perkembangan Islam Nusantara di Bumi Pertiwi ini,.
Namun tahun 1900 para
kolonial datang dan memperkenalkan pendidikan sekolah yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu keduniaan dengan dasar rasional semata, mulailah terjadi dualism
pendidikan Nusantara. Pendidikan yang semula terpadu mulai dipisah anatara ilmu
agam dan ilmu pengetahuan umum. Hal itu terjadi karena pendidikan Barat hanya
mengenal ilmu umum dan tidak kenal ilmu agama, sementara pesantren saat itu
mengintegrasikan keduanya.